Memulai Menulis: Antara Mudah, Sulit, dan Rasa Pulang
Oleh: A. Rusdiana
Memulai menulis bisa dibilang gampang-gampang susah. Di satu sisi, menulis tidak membutuhkan modal besar: cukup ide, kemauan, dan sedikit waktu. Namun di sisi lain, justru tiga hal sederhana itulah yang sering menjadi penghalang. Banyak orang ingin menulis, tetapi berhenti sebelum benar-benar memulai. Gangguan datang dari mana-mana kesibukan, rasa lelah, tuntutan hidup, hingga keraguan pada diri sendiri yang perlahan membuat niat menulis memudar.
Bagi sebagian orang, memulai menulis merupakan tantangan tersendiri. Bahkan mereka yang pernah produktif pun bisa mengalami fase “macet”. Seperti curhatan yang pernah saya dengar, “Guru Prof, apa kuncinya ingin kaya Prof? Senang menulis?” Pertanyaan itu terdengar sederhana, nyaris seperti kelakar. Namun sejatinya, pertanyaan tersebut menyimpan kegelisahan yang jujur: apakah menulis bisa menjadi jalan hidup yang berkelanjutan, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara batin dan intelektual? Jawaban yang saya yakini mungkin tidak populer: menulis akan bertahan lama bukan karena ambisi, melainkan karena rasa pulang. Ketika menulis tidak lagi diposisikan sebagai beban target atau tuntutan pengakuan, melainkan sebagai ruang kembali pada diri sendiri, maka menulis akan menemukan daya tahannya.
Pandangan ini sejalan dengan Self-Determination Theory yang dikemukakan oleh Edward L. Deci dan Richard M. Ryan. Teori ini menegaskan bahwa motivasi yang paling kuat dan bertahan lama adalah motivasi intrinsik, yaitu dorongan yang lahir dari dalam diri, bukan karena imbalan eksternal semata. Menulis yang didorong oleh kesenangan, makna, dan kebutuhan aktualisasi diri akan jauh lebih tahan terhadap kejenuhan dibanding menulis yang hanya mengejar popularitas atau materi.
Masalahnya, banyak penulis pemula bahkan yang sudah lama menulis terjebak pada ekspektasi yang terlalu tinggi. Ingin tulisannya langsung bagus, ingin segera dibaca banyak orang, ingin cepat “berhasil”. Di sinilah kemalasan sering berakar. Bukan karena tidak mampu menulis, tetapi karena takut tidak memenuhi standar yang diciptakan sendiri. Carol S. Dweck, melalui teori growth mindset, mengingatkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Menulis yang “belum bagus” bukan tanda kegagalan, melainkan tanda bahwa proses sedang berjalan.
Selain itu, gangguan eksternal seperti media sosial, tuntutan pekerjaan, dan rutinitas harian sering menggerus ruang batin penulis. Padahal, seperti dikatakan Julia Cameron dalam The Artist’s Way, kreativitas membutuhkan ruang aman tempat seseorang boleh jujur, tidak dihakimi, dan bebas bereksperimen. Bagi banyak penulis, ruang aman itu bernama komunitas.
Di sinilah peran Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) menjadi relevan. Dengan 2.372 anggota, PBB bukan sekadar wadah berbagi tulisan, tetapi juga ruang saling menguatkan. Komunitas membantu penulis menyadari bahwa rasa malas bukan aib, melainkan fase yang bisa dilalui bersama. Menulis tidak selalu tentang menghasilkan karya besar, tetapi tentang menjaga nyala kecil agar tidak padam.
Pada akhirnya, memulai menulis memang gampang-gampang susah. Kuncinya bukan semata disiplin atau bakat, melainkan niat yang dipelihara dengan makna. Ketika menulis menjadi tempat pulang tempat berdialog dengan diri, merekam jejak hidup, dan berbagi nilai maka ia tidak lagi terasa berat. Ia menjadi kebutuhan. Dan dari kebutuhan itulah, keberlanjutan akan tumbuh, perlahan namun nyata. Wallahu A’lam.