MENGAPA BERBICRA TERASA RINGAN, TETAPI MENULIS BEGITU SULIT?

2025-12-28 23:24:22 | Diperbaharui: 2025-12-28 23:24:34
MENGAPA BERBICRA TERASA RINGAN, TETAPI MENULIS BEGITU SULIT?

 

Caption Sumber: INTIinspira – tersedia di https://www.intiinspira.com/2025/05/mengapa-menulis-terasa-sulit.

Mengapa Berbicara Terasa Ringan, tetapi Menulis Begitu Sulit?

Oleh: A. Rusdiana

Berbicara sering terasa mengalir, ringan, dan spontan. Kita dapat dengan mudah menceritakan pengalaman kemarin, keluhan pagi hari, atau ide yang tiba-tiba muncul. Namun, ketika diminta menuangkannya ke dalam tulisan, banyak orang justru terdiam, ragu, bahkan menyerah sebelum mulai. Padahal, inti pesan yang ingin disampaikan sebenarnya tidak jauh berbeda. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan kognitif, kultural, dan kebiasaan belajar.

Ungkapan ini kerap saya dengar dari siswa, mahasiswa, guru, bahkan rekan diskusi. Salah satunya berupa kelakar yang menyentil: “Guru Prof, apa kuncinya ingin kaya? Senang menulis?” Pertanyaan sederhana, tetapi menyimpan kegelisahan yang sama: mengapa menulis terasa jauh lebih berat dibanding berbicara?

Secara teoretis, perbedaan ini dapat dijelaskan melalui pandangan Walter J. Ong dalam Orality and Literacy (1982). Ong menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk lisan (oral beings). Berbicara bersifat kontekstual, interaktif, dan dibantu oleh ekspresi wajah, intonasi suara, serta respons lawan bicara. Karena itu, kesalahan dalam berbicara mudah ditoleransi dan bahkan sering dilupakan. Sebaliknya, tulisan bersifat permanen. Sekali tertulis, ia dapat dibaca ulang, dikritik, dan dinilai. Inilah yang kerap melahirkan rasa takut salah.

Hal ini berkaitan pula dengan teori cognitive load dari John Sweller. Saat menulis, otak bekerja lebih kompleks: memikirkan ide, memilih kata, menyusun struktur kalimat, memperhatikan ejaan, sekaligus membayangkan penilaian pembaca. Beban kognitif ini jauh lebih berat dibanding berbicara yang relatif spontan dan minim tuntutan formal. Tidak heran jika banyak orang merasa “buntu” di hadapan kertas kosong.

Pengalaman pendidikan kita juga turut membentuk situasi ini. Sejak sekolah, siswa lebih sering dilatih menyalin dan menghafal ketimbang mengekspresikan gagasan. Soal pilihan ganda mendominasi, sementara esai sering hanya menuntut jawaban “sesuai buku”. Akibatnya, menulis dipersepsikan sebagai aktivitas mencari jawaban benar, bukan sebagai proses berpikir. Ini sejalan dengan kritik Paulo Freire terhadap pendidikan gaya “bank”, yang mematikan keberanian intelektual peserta didik.

Ada pula faktor ketiga yang sering luput disadari, yakni ketakutan akan penilaian sosial. Berbicara biasanya terjadi dalam ruang terbatas dan segera berlalu. Menulis, apalagi jika dipublikasikan, terasa seperti membuka diri di hadapan banyak mata. Kekhawatiran “tulisan saya kurang bagus” atau “takut dikritik” membuat banyak orang memilih diam. Padahal, menurut Lev Vygotsky, kemampuan berpikir justru berkembang melalui proses ekspresi, termasuk lewat bahasa tulis, meski awalnya belum sempurna.

Padahal, keterampilan menulis sejatinya sama seperti keterampilan lain: perlu dilatih, dibiasakan, dan dijalani tanpa ketakutan berlebihan. Sayangnya, perhatian sering lebih besar pada hasil akhir yang “rapi dan benar”, bukan pada proses berpikir dan keberanian menuangkan ide. Akibatnya, menulis terasa sebagai beban, bukan sebagai sarana bertumbuh.

Karena itu, penting untuk kembali mendekatkan menulis dengan bercerita. Dorong penulis pemula siswa, mahasiswa, atau siapa pun untuk menulis seolah sedang berbicara kepada seseorang. Abaikan dulu struktur yang kaku. Biarkan ide mengalir. Tahap awal menulis bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan kejujuran dan keberanian. Revisi dan penyempurnaan bahasa dapat menyusul kemudian.

Mungkin persoalan utamanya bukan karena kita tidak mampu menulis, tetapi karena belum terbiasa menganggap menulis sebagai perpanjangan dari berbicara. Jika saat berbicara kita mampu jujur dan mengalir apa adanya, sesungguhnya menulis pun bisa dilakukan dengan cara yang sama. Dari situlah literasi bertumbuh pelan, konsisten, dan bermakna. Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar