Hi, Koteker dan Kompasianer. Apa kabar? Masih sehat dan bahagia, bukan?
Sabtu lalu, Komunitas Traveler Kompasiana dan Pesanggrahan Indonesia e.V mengundang Farissa, Kompasianer Aceh si penggemar kedai kopi di Aceh sudah berbagi pengalaman mengikuti workshop barista. Tepat pada tanggal 19 November 2024 di Meulaboh, Ikhwanul Farissa mendapat informasi banyak tentang "Kewirausahaan Pemuda dalam Bisnis Kopi." Kita jadi tahu awal mula dan perkembangan kopi di Aceh, munculnya cafe kopi dan warung kopi sejak tahun 2020 an.
Kopi khop atau kopi terbalik yang merupakan kopi istimewa dari Aceh, juga dibahas dalam pertemuan. Farissa berbagi info tentang bagaimana cara membuatnya. Video hasil workshop juga ditayangkan di layar zoom.
Apa saja yang harus diingat dalam pembuatannya?
- Memilih kopi tubruk karena ampasnya tebal, secara optis akan terlihat cantik dan menarik
- Menyiapkan cawan
- Gelas transparan
- Air panas 150-200 ml (90-95 derajat C)
- Gula secukupnya (gula pasir, gula aren, gula batu)
- Campurkan bahan di dalam gelas, letakkan cawan di atas gelas, balik dengan cepat, lalu tunggu sampai ampas kopi turun. Selipkan sedotan di dalam gelas, tiup dan seduh.
Usai presentasi dan interview, saatnya menjawab pertanyaan dari peserta di kolom chat. Mbak Diah dari Hamburg menanyakan apakah kopi bukan tubruk bisa dipakai. Mengingat orang Jerman tidak banyak memperjualbelikan kopi tubruk melainkan biji kopi, akan susah mencari bahan untuk membuat kopi khop. Padahal menurutnya ini menarik muridnya, mengingat kopi ini luar biasa langka.
Selain kopi khop, Farissa juga menyebut kopi espresso, yang menjadi kopi aset ekonomi, wisata dan budaya Aceh. Apalagi Aceh yang disebut sebagai negeri serambi Mekah ini dijuluki negeri 1000 warung kopi. Di mana-mana, sangat mudah menemukannya. Orang Aceh juga menyukai waktu menikmati kopi santai sambil menyelesaikan perkara.
Dari Aceh, Mimin ajak kalian ke Jakarta. Ada admin Koteka mbak Palupi Mustajab yang ingin menceritakan kisahnya menari di pelataran Candi Pawon. Candi di Magelang yang terletak di antara candi Borobudur dan candi Mendut itu merupakan candi Budha yang dibangun pada abad 9 pada masa wangsa Syailendra. Pawon dalam bahasa Jawa artinya dapur. Bisa juga disamakan dengan kata "Awu" atau abu. Jadi, candi ini dulunya dipakai sebagai tempat abu para raja masa itu.
Candi yang konon didesain oleh Gunadarma itu direstorasi Raffles tahun 1835. Terima kasih, kepada dunia barat yang telah membantu menguak sejarah bangsa Indonesia zaman itu.
Candi ini rupanya menjadi tempat yang istimewa juga bagi mbak Palupi. Bersama kawan-kawannya, mereka menari di sana, di pelataran candi Pawon. Tentunya ini kesempatan dan tantangan yang luar biasa, nggak semua orang punya. Roh tari dan sejarah zaman itu menyatu menjadi sajian tari yang menggambarkan seni budaya bangsa kita yang adi luhung.
Mengapa mereka tampil di sana? Siapa yang mengorganisir? Sejak umur berapa mbak Palupi belajar menari? Sudah menari apa saja dan di mana saja? Berapa lama mbak Palupi belajar menari Bedhaya Ajang Gayung untuk ditampilkan di candi itu? Berapa lama durasi menari di candi? Rekaman menari disebarkan di mana saja? Bagaimana rasanya menari di sana? Siapa yang jadi make up artisnya atau dandan sendiri? Apakah ada yang menonton? Pelataran candi Pawon adalah tanah dan rumput, apa bedanya ketika menari di lantai yang bersih dan licin? Apakah menari menjadi bagian dari promosi wisata lokal yang bagus dan soft diplomacy di luar negeri? Menurut mbak Palupi apakah generasi muda akan meneladani apa yang kalian lakukan di sana? Apakah mereka akan belajar menari bedhaya dan memamerkan dari lokal ke seluruh dunia?
Untuk tahu jawabannya, simak perbincangan dalam Kotekatalk-204 bersama mbak Palupi, pada:
- Hari/Tanggal: Sabtu, 30 November 2024
- Pukul: 16.00 WIB Jakarta/ 10.00 CET Berlin
- Link: DI SINI
"Ke Bogor jangan lupa mampir ke istana. Di Bogor ada bunga Raflesia. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana, kita bangkitkan pariwisata Indonesia" (Menparekraf Sandiaga Uno, Kotekatalk-83, 2 April 2022).
Jumpa Sabtu.
Salam Koteka. (GS)