KETIKA BELAJAR MENULIS DARI PENGALAMAN: Mengapa Berbicara Mengalir, tetapi Menulis Terasa Buntu?

2025-12-30 02:04:23 | Diperbaharui: 2025-12-30 02:06:47
KETIKA BELAJAR MENULIS DARI PENGALAMAN: Mengapa Berbicara Mengalir, tetapi Menulis Terasa Buntu?
Caption: Sumber: Ilustrasi dibuat khusus dengan berbatuan AI sesuai permintaan, bebas hak cipta untuk publikasi Kompasiana, dengan kredit: Ilustrasi: AI-generated (OpenAI), (Dimodifikasi 30 Desember 2025)

Ketika Belajar Menulis dari Pengalaman: Mengapa Berbicara Mengalir, tetapi Menulis Terasa Buntu?

Oleh: A. Rusdiana

Pengalaman sederhana di kelas sering kali justru membuka pemahaman mendalam tentang dunia literasi. Pernah suatu ketika saya meminta seorang siswa menceritakan pengalaman liburan sekolahnya. Ceritanya panjang, runtut, dan penuh detail. Namun saat diminta menuliskannya di buku catatan, hasilnya mengejutkan: hanya dua kalimat. Bukan karena ia kehabisan ide, melainkan karena belum terbiasa mengalihkannya ke dalam bentuk tulisan. “Berbicara mengalir, menulis terasa buntu. Bukan karena kita tak mampu, tetapi karena menulis belum dibiasakan sebagai seni bercerita.”

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi juga pada orang dewasa, bahkan pendidik. Kita sering lancar berbicara, berdiskusi, atau bercerita, tetapi gagap ketika harus menulis. Pertanyaannya: mengapa berbicara terasa ringan, tetapi menulis begitu sulit, padahal inti yang ingin disampaikan tidak jauh berbeda?

Dalam kajian psikologi kognitif, Lev Vygotsky menjelaskan bahwa “bahasa lisan berkembang lebih awal karena bersifat sosial dan kontekstual. Berbicara dibantu oleh ekspresi wajah, intonasi, gerak tubuh, serta respons langsung dari lawan bicara.” Ketika seseorang berbicara, pikirannya “ditopang” oleh situasi dan interaksi sosial. Menulis berbeda. Ia menuntut kerja kognitif yang lebih kompleks: menyusun ide, memilih kata, membangun struktur, sekaligus membayangkan pembaca yang tidak hadir secara fisik.

James Britton, seorang pakar literasi, menyebut menulis sebagai proses making meaning. Artinya, menulis bukan sekadar memindahkan pikiran ke kertas, tetapi membangun makna secara sadar. Inilah sebabnya menulis sering terasa berat: kita dipaksa berhadapan langsung dengan pikiran sendiri, tanpa penyangga sosial seperti saat berbicara.

Belajar dari pengalaman siswa tadi, masalah utama bukan terletak pada kemampuan, melainkan pada kebiasaan. Thomas Lickona menegaskan bahwa ”keterampilan dan karakter tumbuh melalui pembiasaan yang konsisten.” Menulis adalah keterampilan yang harus dilatih, bukan ditunggu datangnya bakat.

Salah satu cara sederhana untuk membangun kebiasaan menulis adalah dengan menulis bebas selama lima menit setiap hari. Tidak perlu memikirkan ejaan, tata bahasa, atau topik tertentu. Yang penting adalah menulis apa saja yang dipikirkan atau dirasakan. Teknik ini sejalan dengan konsep free writing yang dikenalkan oleh Peter Elbow. Menurut Elbow, menulis akan mengalir jika penulis berhenti menjadi “hakim” bagi tulisannya sendiri di tahap awal. Contohnya sederhana: “Aku tadi telat bangun. Padahal tadi malam sudah pasang alarm. Tapi aku tetap tidur lagi. Sepertinya karena hujan dan suasananya bikin malas bangun.”

Tulisan seperti ini mungkin tampak sepele, tetapi justru melatih kelancaran berpikir dan keberanian menulis tanpa takut salah. Dari kebiasaan kecil inilah kepercayaan diri tumbuh.

Cara lain yang efektif adalah mengubah cerita lisan menjadi tulisan. Apa yang biasa kita ceritakan saat mengobrol, cobalah dituliskan kembali seolah-olah kita sedang berbicara dengan seorang teman. Misalnya: “Kemarin aku naik motor kehujanan. Payung nggak bawa, jas hujan juga nggak ada. Tapi lucunya, justru aku jadi ketawa sendiri di jalan.”

Pendekatan ini menjembatani dunia lisan dan tulisan. Paulo Freire menyebut proses ini sebagai pendidikan yang dialogis berangkat dari pengalaman nyata, bukan dari aturan kaku.

Dari sini, setidaknya ada tiga pelajaran penting. Pertama, setiap orang memiliki gagasan, tetapi tidak semua terbiasa menuliskannya. Kedua, menulis adalah keterampilan yang lahir dari latihan kecil dan konsisten. Ketiga, pengalaman sehari-hari adalah sumber tulisan paling jujur dan kuat.

Bagi Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB), yang sampai harini pengikutnya 2.381 orang, pembelajaran ini relevan: menulis bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang berani memulai. Dari pengalaman sederhana, tulisan yang bermakna bisa lahir. Karena sejatinya, “menulis adalah berbicara dengan waktu pelan, jujur, dan meninggalkan jejak.” Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar