KETIKA BELAJAR MENULIS DARI SOSOK TALENTA DESA

2025-12-31 11:16:40 | Diperbaharui: 2025-12-31 11:16:51
KETIKA BELAJAR MENULIS DARI SOSOK TALENTA DESA

 

Caption Sumber: Ilustrasi dibuat khusus dengan berbatuan AI sesuai permintaan, bebas hak cipta untuk publikasi Kompasiana, dengan kredit: Ilustrasi: AI-generated (OpenAI), (Dimodifikasi 31 Desember 2025)  

Ketika Belajar Menulis dari Sosok Talenta Desa

Talenta dari Ujung Desa

Berbicara sering terasa ringan. Kata-kata mengalir begitu saja, ide melompat tanpa beban. Namun ketika diminta menulis, tangan mendadak kaku, pikiran buntu, dan kalimat terasa berat. Padahal, inti pesan yang ingin disampaikan sebenarnya sama. Fenomena ini jamak dialami banyak orang—termasuk para pendidik dan siswa—dan menjadi refleksi penting dalam perjalanan Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) yang kini memasuki episode ke-66 dengan 2.386 anggota.

Secara teoretis, perbedaan ini dijelaskan oleh Walter J. Ong dalam Orality and Literacy. Ong menegaskan bahwa berbicara lahir dari budaya lisan (orality) yang spontan, kontekstual, dan dialogis. Sementara menulis menuntut budaya literasi (literacy) yang reflektif, terstruktur, dan bertanggung jawab secara publik. Berbicara boleh lupa, menulis tidak. Berbicara boleh salah lalu dikoreksi, menulis meninggalkan jejak. Di sinilah letak “beban” psikologis menulis.

Namun justru pada titik inilah kita belajar.

Saya teringat kisah Pak Awan, seorang guru sederhana di sekolah, yang dengan bangga menunjukkan beberapa tulisannya yang dimuat di kolom opini media massa lokal. Ia memotivasi siswa dengan janji yang sangat membumi, “Kalau tulisan kalian dimuat di media, langsung saya beri nilai sepuluh.” Janji itu bukan sekadar iming-iming nilai, tetapi pesan diam-diam bahwa menulis adalah prestasi intelektual, bukan sekadar tugas kelas. Dari Pak Awan, menulis diturunkan dari menara gading ke ruang kelas, dari beban akademik menjadi mimpi yang mungkin diraih.

Pengalaman personal saya juga diperkaya oleh sosok Teten Sudirman, kasepuhan dari Kabupaten Tasikmalaya. Di usia lebih dari 80 tahun, pensiunan Pemda ini justru menunjukkan ketekunan luar biasa dalam menulis opini di Harian Umum Kabar Priangan. Ia menjadi peraih nominasi Penulis Opini Terproduktif (15 Mei 2025). Saya beruntung menerima penghargaan yang sama pada momen tersebut. Namun lebih dari piagam, yang paling berharga adalah teladan: bahwa menulis tidak mengenal usia, jabatan, atau asal-usul. Ia hanya mengenal kejujuran pikiran dan ketekunan latihan. Dari sosok-sosok ini, setidaknya ada tiga pembelajaran penting;

Pertama, menulis adalah proses keberanian; Menurut Peter Elbow, menulis bukan soal langsung benar, tetapi berani menuangkan pikiran mentah sebelum disempurnakan. Banyak orang gagal menulis bukan karena tak punya ide, tetapi karena terlalu ingin sempurna sejak kalimat pertama.

Kedua, menulis tumbuh dari keteladanan, bukan ceramah; Pak Awan dan Teten Sudirman tidak banyak memberi teori, tetapi menunjukkan karya nyata. Dalam pedagogi, ini sejalan dengan social learning theory dari Albert Bandura: manusia belajar efektif melalui observasi terhadap model yang relevan dan dekat dengan kehidupannya.

Ketiga, menulis adalah ikhtiar memberi makna, bukan mencari pujian; Tulisan opini di media bukan sekadar tampil, tetapi ikut menyumbang suara warga. Inilah yang oleh Paulo Freire disebut sebagai praktik kesadaran kritis (conscientization): menulis sebagai alat membebaskan pikiran dan membangun dialog sosial.

PBB sebagai komunitas telah membuktikan bahwa talenta menulis tidak hanya lahir dari kota besar atau kampus ternama. Ia tumbuh dari ujung desa, dari guru sederhana, dari pensiunan yang setia pada pena. Episode ke-66 ini bukan sekadar penanda usia komunitas, melainkan pengingat bahwa menulis adalah laku belajar seumur hidup.

Jika berbicara membuat kita didengar, maka menulis membuat kita diingat. Dan dari sosok-sosok sederhana itulah, kita belajar bahwa jejak pena sering kali lebih panjang umurnya daripada suara. Wallahu A'alam

Teser: Belajar menulis tak selalu dari kampus besar. Dari talenta desa dan kasepuhan, pena diajarkan dengan keteladanan, ketekunan, dan makna hidup.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
tag
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar