Malas Menulis Bukan Tanda Kosomgnya Prikiran, Melainkan Pikiran Yang Telalu Penunh

2025-12-16 19:13:35 | Diperbaharui: 2025-12-16 19:13:53
Malas Menulis Bukan Tanda Kosomgnya Prikiran, Melainkan Pikiran Yang Telalu Penunh
Caption Sumber: greenbook.id. tersedia di  #tipsmenulis #penulisindo #inspirasi #greenbookid.

MALAS MENULIS BUKAN TANDA KOSONGNYA PIKIRAN, MELAINKAN PIKIRAN YANG TERLALU PENUH

Oleh: A. Rusdiana

Tiga hari tidak menulis sering kali dianggap kemalasan. Padahal, dalam banyak kasus, itu justru tanda bahwa pikiran sedang bekerja terlalu keras. Milton H. Erickson, tokoh hipnoterapi modern, mengingatkan bahwa perubahan psikologis tidak selalu lahir dari instruksi langsung, melainkan dari pengalaman batin yang diberi ruang. Dalam konteks menulis, berhenti sejenak bukan berarti mandek, tetapi bisa jadi proses inkubasi makna.

Dalam tradisi psikoterapi Milton H. Erickson, perubahan tidak dipahami sebagai hasil perintah sadar yang keras, melainkan sebagai proses yang tumbuh dari pengalaman batin dan sugesti tidak langsung. Pikiran bawah sadar dipandang sebagai sumber daya kreatif yang bekerja efektif ketika individu merasa aman, bukan tertekan. Kerangka inilah yang relevan untuk membaca fenomena tiga hari tidak menulis. Bukan semata kemalasan, tetapi kemungkinan pikiran sedang terlalu penuh oleh tuntutan sadar: harus rapi, harus bermutu, harus segera selesai. Ketika tekanan itu meningkat, akses ke kreativitas justru tertutup. Maka berhenti menulis bisa menjadi fase inkubasi, bukan kegagalan.

Caption Sumbber diadaftasi dari Erickson, dkk, 1976 

Penulis kerap terjebak pada tuntutan sadar: harus rapi, harus bermutu, harus selesai. Ketika tuntutan itu menumpuk, pikiran bawah sadar yang sejatinya sumber kreativitas justru terkunci. Maka, malas menulis bukan selalu kemalasan, melainkan sinyal bahwa pikiran butuh ruang aman untuk “bernapas”.

Berhentilah Memaksa Tulisan Menjadi Sempurna; Izinkan Ia Muncul Dulu

Dalam pendekatan Ericksonian, sugesti tidak langsung lebih efektif daripada perintah keras. Menulis pun demikian. Ketika penulis memaksa diri menghasilkan tulisan ideal sejak kalimat pertama, yang muncul justru kebuntuan. Padahal, tulisan tidak harus lahir sempurna; ia cukup lahir terlebih dahulu.

Mengizinkan tulisan muncul apa adanya acak, pendek, bahkan tidak runtut—adalah bentuk sugesti lembut pada diri sendiri. Dari sinilah alur, ide, dan keberanian perlahan terbuka. Banyak tulisan penting lahir bukan dari rencana matang, melainkan dari keberanian memulai tanpa peta.

Menulis Bukan Soal Rajin atau Malas, tetapi Soal Berani Memberi Ruang pada Suara Batin

Erickson memandang pikiran bawah sadar sebagai sumber daya kreatif. Namun sumber daya ini hanya bekerja ketika individu merasa aman. Dalam dunia menulis, rasa tidak aman sering muncul karena takut dinilai, dikritik, atau dianggap tidak penting.

Ketika penulis berani memberi ruang pada suara batin menulis apa yang dirasakan, bukan apa yang dianggap “layak” maka proses penyembuhan kreatif terjadi. Menulis menjadi terapi ekspresif: bukan sekadar menghasilkan teks, tetapi merekonstruksi makna pengalaman. Dari sini, konsistensi justru tumbuh secara alami, bukan karena paksaan.

Tulisan yang Tidak Dimulai Karena Takut Salah Lebih Berbahaya daripada Tulisan yang Berantakan tapi Jujur

Tidak menulis selama berhari-hari sering disebabkan oleh ketakutan yang tidak disadari. Takut salah, takut tidak bermutu, takut tidak berdampak. Dalam tradisi Ericksonian, ketakutan semacam ini dilunakkan bukan dengan logika keras, tetapi dengan pengalaman kecil yang aman.

Menulis satu paragraf jujur, meski berantakan, jauh lebih sehat daripada diam berkepanjangan. Sebab tulisan yang jujur membuka pintu dialog dengan diri sendiri dan dengan pembaca. Dari kejujuran itulah kualitas perlahan dibangun. Tiga hari tidak menulis bukan kegagalan. Ia bisa menjadi undangan untuk mengubah cara memulai. Berhenti memaksa, beri ruang, dan izinkan tulisan menemukan jalannya sendiri. Seperti kata Erickson, perubahan sering terjadi saat kita tidak memerintah, tetapi mendampingi. Wallahu A'lam,

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar