Menulis Bukan Soal Rajin atau Malas, tetapi Soal Berani Memberi Ruang pada Suara Batin
Oleh: A. Rusdiana
Milton H. Erickson memandang pikiran bawah sadar sebagai sumber daya kreatif yang sangat kaya. Namun sumber daya ini hanya bekerja optimal ketika individu merasa aman, tidak diancam, dan tidak dipaksa. Dalam dunia menulis, rasa aman itu sering kali rapuh. Banyak penulis termasuk yang berpengalaman diam-diam dihantui ketakutan: takut dinilai, dikritik, tidak penting, atau dianggap biasa saja.
Ketakutan ini membuat aktivitas menulis bergeser dari proses ekspresif menjadi ujian mental. Menulis lalu dipersepsikan sebagai tugas berat yang menuntut performa, bukan sebagai ruang dialog dengan diri sendiri. Di titik inilah label “malas” sering muncul, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah penarikan diri psikologis akibat tekanan batin.
Ketika penulis berani memberi ruang pada suara batin menulis apa yang dirasakan, bukan semata apa yang dianggap “layak” maka proses penyembuhan kreatif mulai bekerja. Menulis berubah menjadi terapi ekspresif: bukan sekadar menghasilkan teks, tetapi merekonstruksi makna pengalaman. Dari sini, konsistensi justru tumbuh secara alami, bukan karena paksaan atau disiplin semu.
Dalam pendekatan Ericksonian, perubahan sering kali dimulai dari langkah kecil yang aman. Menulis satu paragraf jujur, satu catatan pendek, atau satu refleksi personal sudah cukup untuk membuka akses ke pikiran bawah sadar. Tidak perlu langsung sistematis, apalagi sempurna. Yang penting adalah keberanian hadir dan mengekspresikan.
Banyak penulis terjebak pada mitos produktivitas: bahwa menulis harus rajin setiap hari dengan hasil yang selalu layak baca. Padahal, produktivitas kreatif tidak selalu linear. Ada fase diam, ragu, dan bahkan enggan. Dalam kacamata Erickson, fase-fase ini bukan hambatan, melainkan bagian dari proses internalisasi pengalaman.
Memberi ruang pada suara batin juga berarti berdamai dengan ketidakteraturan. Tulisan yang lahir dari kejujuran sering kali tidak langsung rapi, tetapi justru memiliki daya hidup. Ia menyentuh karena autentik. Dari keautentikan itulah teknik, struktur, dan gaya dapat menyusul.
Menulis, dengan demikian, bukan soal rajin atau malas. Ia adalah soal relasi dengan diri sendiri. Ketika relasi itu penuh tekanan, tulisan menjauh. Ketika relasi itu ramah dan menerima, tulisan datang dengan sendirinya. Inilah mengapa banyak tulisan terbaik lahir bukan saat penulis memaksa diri, tetapi ketika ia memberi izin pada dirinya untuk berbicara.
Pada akhirnya, keberanian memberi ruang pada suara batin adalah bentuk kedewasaan menulis. Penulis tidak lagi mengejar validasi semata, tetapi memaknai menulis sebagai proses memahami diri dan dunia. Dalam ruang aman itulah, tulisan menemukan jalannya pelan, jujur, dan berkelanjutan. Wallahu A'lam.