Menulis vs Bersuara: Mana Lebih Jujur bagi Profesi?
Oleh: A. Rusdiana
Pada PBB (Perkumpulan Blogger Bandung) ke-53, tercatat 2.319 penulis aktif. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan penanda lahirnya ekosistem kesadaran literasi. Di saat yang sama, 165 mahasiswa menyelesaikan jurnal ilmiah sebagai luaran mata kuliah. Fenomena ini menegaskan bahwa menulis bukan hobi, melainkan tanggung jawab moral. Tulisan ini berpijak pada teori Writing to Learn dari Janet Emig (menulis sebagai proses membangun makna) dan konsep reflektif-praktis dari Donald Schön (kejujuran lahir dari refleksi-in-aksi).
Banyak tulisan lahir cepat, tetapi miskin akurasi dan etika sumber. Data sering diperlakukan sebagai penghias argumen, bukan fondasi kebenaran, maka tujuan penulisan ini, menegaskan bahwa menulis adalah mekanisme kontrol diri, sekaligus merefleksikan makna penghargaan Koleksi Terbanyak ke-1 Repositori UIN Bandung (Jejak Literasi, 27 November 2025) dalam spirit Hari Guru 2025 dan HUT KORPRI: Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan. Brikut lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis vs Bersuara: Mana Lebih Jujur bagi Profesi:
Pertama: Menulis sebagai “meja bedah” intelektual; Menulis memaksa penulis menguliti pikirannya sendiri. Data diuji, sumber diverifikasi, dan logika dirapikan. Angka 2.319 penulis aktif pada PBB ke-53 menjadi simbol bahwa komunitas literasi tumbuh bukan karena popularitas, melainkan disiplin intelektual. Proses ini serupa dengan akuntabilitas akademik: setiap klaim harus siap diuji publik. Di sinilah menulis menjadi instrumen kejujuran, bukan sekadar ekspresi.
Kedua: Repositori sebagai etalase integritas; Penghargaan Koleksi Terbanyak ke-1 Repositori UIN Bandung bukan sekadar prestasi kuantitatif, melainkan pernyataan etis: semakin banyak karya terdigitalisasi, semakin terbuka pula ruang pertanggungjawaban. Repositori berfungsi sebagai “ruang sidang” terbuka, tempat data diuji lintas generasi. Menulis yang jujur menemukan rumahnya di sini.
Ketiga: Spirit Hari Guru: teladan melalui teks; Hari Guru 2025 menegaskan bahwa keteladanan tidak hanya diajarkan, tetapi ditulis. Guru yang menulis meninggalkan jejak epistemik bagi muridnya. Ketika 165 mahasiswa menulis jurnal, mereka sedang belajar satu hal: kejujuran ilmiah adalah identitas moral, bukan pilihan gaya.
Keempat: KORPRI dan etos profesionalisme; Semangat HUT KORPRI mengingatkan bahwa profesi publik berdiri di atas etika. “Pahlawanku Teladanku” bukan slogan, melainkan standar perilaku. Menulis bagi aparatur adalah tindakan audit diri: apakah informasi valid, atau sekadar narasi pembenaran?
Kelima: Jumlah Prngikut/Komunitas PBB. Tembus 2.319 penulis: pertanda apa?; Angka ini menandakan lahirnya budaya baru: keberanian diawasi. Semakin banyak penulis, semakin kuat mekanisme koreksi kolektif. Ekosistem literasi yang sehat tidak memuja kesempurnaan, melainkan kejujuran.
Singkatnya, menulis adalah instrumen etika. Ia memaksa pelakunya jujur secara ilmiah dan moral. Rekomendasi: (1) Perguruan tinggi wajib mengintegrasikan repositori terbuka sebagai standar akuntabilitas. (2) Guru dan dosen perlu menjadikan menulis sebagai praktik harian, bukan seremoni. (3) Komunitas seperti PBB perlu difasilitasi sebagai laboratorium kejujuran publik. (4) Pemerintah mendorong insentif bagi karya berbasis data, bukan opini semata.
Pada akhirnya, menulis bukan soal banyaknya kata, melainkan keberanian untuk jujur. Saat penghargaan diraih, angka dicatat, dan teks dipublikasikan, yang diuji bukan hanya kecerdasan, tetapi juga karakter. Di sanalah profesi menjadi teladan. Wallahu A’lam.