Bertemu dengan seorang alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKM UMJ) yang kini mengabdi sebagai guru olahraga di salah satu SMK menjadi pengalaman yang membuka mata. Latar belakang pendidikan kesehatan masyarakat ternyata tidak membuatnya jauh dari dunia pendidikan, justru memperkaya pendekatan dalam mengelola kelas dan membina karakter siswa.
Dari Kesehatan Masyarakat ke Dunia Pendidikan
Menurut data tracer study FKM UMJ tahun 2023, sekitar 18% alumnus bekerja di bidang pendidikan dan pelatihan, termasuk guru dan instruktur olahraga. Ini menunjukkan bahwa kompetensi FKM tidak terbatas di instansi kesehatan semata—namun juga relevan dalam mendidik generasi muda agar sehat jasmani dan mental.
Guru muda ini menerapkan strategi yang menarik: ia menekankan pembentukan karakter, disiplin, dan daya juang lewat kegiatan olahraga. Bukan sekadar mengajarkan teknik permainan, tetapi bagaimana siswa belajar mengelola emosi, menghargai proses, dan bangkit dari kegagalan. “Olahraga itu miniatur kehidupan. Kadang menang, kadang kalah. Tapi yang penting bagaimana kita tetap bergerak,” ujarnya.
Kekhawatiran tentang Generasi yang Terlalu ‘Sempurna’
Namun di balik keberhasilan mengajar, ada kegelisahan yang ia sampaikan dengan jujur. Ia mengkhawatirkan siswa-siswa yang selalu tampil sempurna—selalu juara, selalu menonjol, selalu dipuji. “Saya takut mereka tidak siap ketika gagal,” katanya lirih.
Fenomena ini bukan tanpa dasar. Data dari Survei Kesehatan Remaja Indonesia 2022 (Kemenkes RI) menunjukkan bahwa 23% remaja mengalami tekanan psikologis karena tuntutan akademik dan sosial, sementara 17% merasa tidak siap menghadapi kegagalan.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian dari mereka mendapat nasihat yang salah dari orang dewasa di sekitar: “ngapain sih pinter-pinter, capek nanti.” Kalimat sederhana, tapi bisa mematikan semangat belajar dan rasa percaya diri anak. “Padahal anak-anak ini sedang berjuang menemukan makna hidupnya. Saat orang dewasa yang seharusnya jadi panutan malah menyepelekan usaha mereka, itu menyakitkan,” tambah sang guru.
Menyiapkan Mental Tahan Gagal
Ia kini fokus membantu siswa membangun resiliensi (daya lenting). Dalam setiap sesi olahraga, ia selalu menekankan pentingnya menerima kekalahan dan belajar darinya. Ia juga rutin berdiskusi dengan siswa yang terlihat tertekan oleh ekspektasi diri atau lingkungan.
Pendekatan ini sejalan dengan temuan WHO (2023) yang menyebutkan bahwa penguatan keterampilan sosial dan emosional di sekolah mampu menurunkan risiko stres akademik hingga 30%. Dengan kata lain, guru yang peduli pada keseimbangan antara prestasi dan kesehatan mental punya peran besar dalam membentuk generasi tangguh.
Kisah alumnus FKM UMJ ini menjadi bukti bahwa keberhasilan seorang pendidik bukan diukur dari seberapa banyak piala yang diraih siswa, melainkan dari kemampuan membentuk karakter yang kuat, tangguh, dan empatik.