Menulis: Beban Kuliah atau Jalan Menuju Kebebasan Intelektual?
Oleh: A. Rusdiana
Di ruang kuliah, tugas menulis sering kali dianggap sebagai beban administratif semata. Mahasiswa menulis karena terpaksa, bukan karena sadar akan makna proses intelektual di baliknya. Fenomena ini terlihat dari maraknya praktik copy-paste, penggunaan AI generator tanpa refleksi, hingga jasa penulisan tugas yang tumbuh subur di media sosial. Padahal, menulis adalah jantung dari aktivitas akademik yang sejatinya melatih critical thinking, academic integrity, dan kejujuran ilmiah.
Secara teoritis, Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan. Menulis, dalam kerangka itu, menjadi tindakan reflektif yang memampukan individu untuk berdialog dengan realitas. Sementara Bloom’s Taxonomy menempatkan menulis di puncak kemampuan kognitif—yakni creating—bukan sekadar remembering atau understanding. Namun dalam praktiknya, ada gap antara tujuan akademik dan realitas kelas: tugas menulis sering menjadi ritual administratif, bukan aktivitas pembebasan intelektual.
Dengan semangat MICt-Met (Meaningful, Integrity-based, Critical, transformative Method), tulisan ini bertujuan mengajak dosen, mahasiswa, dan pemangku kepentingan pendidikan untuk melihat kembali makna menulis sebagai tindakan akademik yang bermakna, bukan sekadar formalitas perkuliahan. Brikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis sebagai Tugas Akademik yang Bermakna:
Pertama: Menulis sebagai Proses, Bukan Produk; Banyak mahasiswa mengejar hasil cepat: nilai A atau laporan akhir yang rapi. Padahal, inti dari menulis adalah proses berpikir. Saat menuangkan gagasan, seseorang belajar mengorganisasi ide, menguji argumen, dan menemukan posisi etisnya. Ketika proses itu diabaikan, hasil tulisan hanya menjadi formalitas kosong tanpa makna dan tanpa transformasi diri.
Kdua: Menulis Membangun Integritas Akademik; Tindakan menulis melatih kejujuran. Menyebut sumber, mengutip dengan benar, dan menolak plagiasi adalah wujud karakter akademik yang bertanggung jawab. Dalam konteks ini, menulis sejajar dengan nilai anti-gratifikasi: menolak cara pintas untuk hasil instan. Integritas dalam tulisan adalah cerminan integritas dalam kehidupan.
Ketiga: Menulis sebagai Dialog, Bukan Monolog; Tulisan akademik yang baik tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari dialog antara penulis, teks, dan pembaca. Mahasiswa belajar bahwa gagasannya tidak absolut selalu terbuka untuk diuji, dikritik, dan diperkaya. Dosen pun berperan bukan sebagai hakim nilai, melainkan fasilitator dialog intelektual yang membimbing mahasiswa menemukan suaranya sendiri.
Keempat: Menulis Melatih Empati dan Tanggung Jawab Sosial; Tulisan yang bermakna tidak berhenti di meja dosen. Ia seharusnya menjawab persoalan nyata di masyarakat: ketimpangan sosial, etika profesi, hingga krisis lingkungan. Melalui menulis, mahasiswa belajar menjadi warga akademik yang peduli pada sesama dan berani menyuarakan perubahan.
Kelima: Menulis Menumbuhkan Kebebasan Intelektual; Kebebasan berpikir tidak lahir dari hafalan, melainkan dari keberanian menyusun argumen dan mempertahankannya secara etis. Menulis memberi ruang bagi mahasiswa untuk mengartikulasikan identitas, pandangan dunia, dan cita-cita perubahannya. Dari sinilah lahir generasi ilmuwan yang bukan hanya terampil menulis, tetapi juga merdeka berpikir.
Simpulan dan Rekomendasi; Menulis sebagai tugas akademik yang bermakna adalah fondasi bagi kebebasan intelektual dan keutuhan moral dunia pendidikan. Ia mengajarkan mahasiswa untuk berpikir kritis, jujur terhadap sumber, serta bertanggung jawab terhadap implikasi sosial tulisannya.
Bagi dosen, penting mengubah paradigma: tugas menulis bukan alat ukur administratif, tetapi sarana pembentukan karakter ilmiah mahasiswa. Institusi pendidikan perlu menyediakan ruang pelatihan menulis akademik berbasis critical-reflective writing. Sementara mahasiswa harus menempatkan menulis sebagai praktik kesadaran, bukan sekadar ritual akademik. Wallahu A’lam.