Luka Tak Sama, Cara Pulih Berbeda: Mendampingi Korban dan Pelaku Kekerasan

2025-10-11 14:51:39 | Diperbaharui: 2025-10-11 14:56:19
Luka Tak Sama, Cara Pulih Berbeda: Mendampingi Korban dan Pelaku Kekerasan
CaptionCatatan Kelas A

Kekerasan seksual pada anak adalah luka sosial yang tak hanya meninggalkan trauma bagi korban, tapi juga kebingungan dan stigma bagi anak pelaku. Di ruang pendidikan maupun keluarga, keduanya sama-sama membutuhkan pendampingan yang manusiawi — bukan penghakiman.

Menurut KPAI (2024), lebih dari 53% pelaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan orang yang dikenal korban, sedangkan 1 dari 5 pelaku anak pernah mengalami kekerasan atau paparan pornografi sebelumnya (LPSK, 2023).
Data ini menggambarkan bahwa permasalahan ini kompleks — dan tidak bisa selesai hanya dengan hukuman. Diperlukan pendekatan yang menyentuh hati, akal, dan fitrah manusia.

Salah satu pendekatan yang menarik untuk dipertimbangkan adalah STIFIn — model pengembangan diri yang mengenali cara kerja otak dominan seseorang: Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, dan Instinct. Pendekatan ini bisa membantu pendamping memahami cara terbaik berkomunikasi, memulihkan, dan menguatkan anak sesuai “mesin kecerdasan” mereka.


1. Untuk Anak Korban

Anak korban kekerasan seksual sering kehilangan rasa aman dan kepercayaan diri. Dengan mengenali mesin kecerdasannya, pendamping bisa menyesuaikan cara pemulihan:

  • Sensing (S): butuh rutinitas dan aktivitas fisik yang menenangkan. Bisa diajak kegiatan harian sederhana agar rasa kontrol pulih.

  • Thinking (T): perlu penjelasan logis tentang apa yang terjadi dan mengapa ia tetap berharga. Pendamping harus jujur, konsisten, dan memberi batas aman yang jelas.

  • Intuiting (I): cenderung melamun dan sensitif. Pendamping bisa membantu menyalurkan imajinasi lewat seni, menulis, atau kegiatan kreatif.

  • Feeling (F): sangat butuh empati dan pelukan emosional. Fokus pada dukungan, bukan pertanyaan detail yang bisa memicu trauma.

  • Instinct (In): anak tipe ini sering tampak tenang, tapi memendam. Pendamping harus hadir secara rutin tanpa banyak bicara — kehadiran yang stabil lebih berarti dari kata-kata.


2. Untuk Anak Pelaku

Sebagian anak pelaku sesungguhnya juga “korban” dari lingkungan, paparan media, atau kurangnya edukasi seksualitas sehat. Pendekatan STIFIn bisa membantu rehabilitasi perilaku mereka dengan cara yang sesuai karakter otaknya:

  • Sensing: berikan latihan perilaku dan rutinitas yang jelas (apa yang boleh dan tidak boleh).

  • Thinking: ajak berpikir tentang sebab-akibat perbuatannya, dan bagaimana memperbaiki kesalahan secara nyata.

  • Intuiting: bantu mengarahkan energinya ke hal kreatif dan konstruktif, seperti menulis atau proyek sosial.

  • Feeling: tanamkan empati melalui simulasi perasaan korban, bukan hukuman keras.

  • Instinct: butuh pendekatan spiritual atau reflektif yang tenang — seringkali mereka sadar dan berubah lewat proses batin.


3. Peran Sekolah dan Keluarga

Sekolah dan keluarga perlu menjadi safe zone yang peka dan siap menampung cerita anak tanpa menghakimi.

  • Guru bisa dilatih mengenali tanda stres atau perubahan perilaku.

  • Kelas bisa menjadi ruang promosi kesehatan mental — tempat anak belajar bahwa kegagalan, luka, dan kesalahan adalah bagian dari proses tumbuh.

  • Orang tua perlu membangun komunikasi terbuka, terutama tentang tubuh, batas, dan rasa aman.

Pendekatan STIFIn membantu guru, konselor, dan orang tua lebih sadar bahwa setiap anak berbeda cara pulihnya, berbeda cara menyesal, berbeda cara memahami cinta dan tanggung jawab.

Pendampingan anak korban maupun pelaku kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan empati atau teori psikologi modern. Dibutuhkan pemahaman fitrah individu, bagaimana otaknya bekerja, dan bagaimana ia memaknai pengalaman traumatik.

STIFIn memberi kacamata baru: bahwa memulihkan bukan sekadar menasihati, tapi menyentuh sisi manusiawi terdalam anak — sesuai cara berpikir dan merasa mereka sendiri.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar