Isu penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) di Indonesia tetap menjadi tantangan serius — tidak hanya dari aspek hukum dan kesehatan, namun juga dari sisi sosial dan kemanusiaan. Angka-angka terkini menunjukkan bahwa problem ini memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan banyak aktor, termasuk komunitas keagamaan dan organisasi berbasis masyarakat.
Data Terbaru: Skala Penyalahgunaan NAPZA
-
Menurut survei terbaru dari Badan Narkotika Nasional (BNN), prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia pada 2023 adalah 1,73% dari penduduk usia 15–64 tahun. Angka ini setara dengan sekitar 3,3 juta orang.
-
Di kategori “pernah menggunakan NAPZA”, angka 2023 mencapai 2,20% — turun dari 2,57% di 2021.
-
Dari total pengguna, sejumlah besar berada pada usia produktif dan remaja: BNN mencatat sekitar 312.000 orang berusia 15–25 tahun terpapar NAPZA.
-
Meski ada sedikit penurunan prevalensi, kasus yang terungkap — penyalahgunaan maupun peredaran — menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan kecil dalam angka prevalensi, jutaan warga — termasuk generasi muda — tetap berada dalam situasi rentan. Perhatian hanya pada aspek hukum dan penegakan tanpa intervensi kemanusiaan dan dukungan sosial belum cukup.
Mengapa Pendekatan Hukum & Pemidanaan Belum Memadai
Pendekatan represif dan kriminalisasi menjadi strategi dominan dalam kebijakan NAPZA. Namun pendekatan ini sering memperkuat stigma terhadap pengguna, dan menghambat mereka untuk mencari bantuan — baik medis maupun spiritual.
Padahal penyalahgunaan NAPZA bukan semata masalah moral atau kriminal, tetapi sering berakar pada faktor sosial, psikologis, lingkungan — seperti tekanan teman sebaya, kemiskinan, depresi, kurangnya pemahaman, keterbatasan akses rehabilitasi. Data BNN menunjukkan bahwa banyak pengguna berada pada usia produktif, dan penyalahgunaan pertama kali sering dipicu oleh lingkungan pergaulan.
Stigma dan kriminalisasi menyebabkan generasi muda atau pengguna baru cenderung menyembunyikan situasinya, takut dicap kriminal, malu atau khawatir penghakiman — sehingga mereka sulit mengakses rehabilitasi, dukungan sosial, maupun bimbingan spiritual.
Potensi Peran Aisyiyah dalam Pendekatan Kemanusiaan dan Komunitas
Di tengah tantangan itu, organisasi berbasis keagamaan dan kemasyarakatan memiliki potensi besar untuk menjadi “jembatan” — bukan hanya dalam penyuluhan dan pencegahan, tapi juga pemulihan dan reintegrasi sosial. Aisyiyah, sebagai organisasi Muslim perempuan yang memiliki akar kuat di masyarakat, bisa memainkan sejumlah peran strategis:
-
Penyuluhan berbasis nilai dan empati
Aisyiyah dapat menggalang dialog keagamaan dan komunitas dengan pendekatan yang manusiawi: menjelaskan perspektif religi tentang kasih sayang, pemulihan, dan hak asasi manusia — bukan hukuman semata. Teladan-pendekatan semacam ini dapat mengurangi rasa malu bagi pengguna NAPZA untuk mencari pertolongan. -
Mendampingi keluarga dan komunitas lokal
Karena struktur Aisyiyah mencakup rumah tangga, perempuan, ibu — mereka bisa menjadi mediator dalam keluarga: mendampingi keluarga pengguna, memberikan pemahaman tentang adiksi sebagai masalah kesehatan, membantu akses rehabilitasi, dan mendukung reintegrasi sosial. -
Kolaborasi lintas aktor: komunitas, medis, hukum, keagamaan
Aisyiyah dapat berkolaborasi dengan BNN, layanan kesehatan, LSM advokasi, dan tokoh agama — untuk membangun jaringan pendampingan, konseling, pemulihan, dan reintegrasi sosial. Pendekatan bottom-up seperti ini bisa melengkapi upaya top-down penegakan hukum. -
Advokasi kebijakan dan persepsi publik
Melalui jaringan dan reputasi sosial, Aisyiyah dapat ikut mengubah narasi publik: dari penekanan pada pemidanaan menjadi penekanan pada pemulihan — menekankan bahwa pengguna NAPZA tetap manusia, berhak mendapatkan layanan kesehatan, rehabilitasi, dan dukungan sosial. -
Program preventif untuk generasi muda dan perempuan
Mengingat sebagian besar pengguna berada pada usia muda, Aisyiyah dapat menyelenggarakan program pendidikan, pencegahan, support group, bimbingan keagamaan, parenting, dan kegiatan komunitas yang memperkuat ketahanan sosial — terutama bagi remaja dan keluarga rentan.
Kenapa Pendekatan Holistik & Inklusif Diperlukan
-
Masalah NAPZA bukan sekadar kriminal — melainkan tindakan terhadap kesehatan masyarakat, keluarga, sosial, dan kemanusiaan.
-
Dengan angka sekitar 3,3 juta orang pengguna — pendekatan represif saja tentu tidak cukup; dibutuhkan strategi inklusif yang menjangkau pengguna secara manusiawi, dengan dukungan sosial, medis, dan komunitas.
-
Tokoh agama dan organisasi keagamaan/kemasyarakatan — seperti Aisyiyah — bisa menjadi katalis untuk mengubah persepsi publik, mengurangi stigma, dan membuka akses kepada rehabilitasi dan dukungan.
Memanggil Semua Pihak untuk Bersama
Menangani NAPZA di Indonesia harus melampaui logika penegakan semata. Kita membutuhkan kolaborasi — antara negara (BNN, penegak hukum, layanan kesehatan), masyarakat sipil, keluarga, komunitas keagamaan, dan organisasi seperti Aisyiyah — untuk memastikan bahwa pengguna NAPZA tidak disingkirkan, tetapi dibantu, dipulihkan, dan direintegrasikan ke masyarakat dengan cara yang manusiawi dan adil.
Aisyiyah, dengan semangat sosial-keagamaan, bisa berperan sebagai garda depan dalam membangun empati, mendampingi korban, dan merubah narasi dari kriminalisasi ke kemanusiaan. Kalau kita gagal melibatkan semua pihak, angka jutaan itu akan terus menjadi beban sosial — dan yang paling rentan tetap menjadi korban: generasi muda, keluarga, dan masa depan bangsa.