Sebagai kepala sekolah, ia sudah mencoba banyak cara — membuat student corner, menyediakan kotak aspirasi, bahkan membuka sesi ngobrol santai.
Namun, sebagian besar siswa tetap diam. Mereka tertawa di kelas, aktif di media sosial, tapi ketika ditanya “ada masalah?”, hanya tersenyum kaku.
Fenomena ini bukan kebetulan. Menurut survei UNICEF Indonesia (2023), sekitar 62% remaja mengaku kesulitan membicarakan perasaan mereka dengan guru atau orang tua, dan 47% merasa takut dihakimi saat jujur bercerita.
Artinya, meskipun sekolah berusaha terbuka, anak-anak masih merasa ruang aman untuk bercerita belum benar-benar ada.
Komunikasi di Sekolah dan di Rumah Sama Rumitnya
Masalah komunikasi ini tidak berhenti di ruang kelas — ia berlanjut ke rumah.
Banyak orang tua ingin anaknya terbuka, tapi setiap kali anak mulai jujur, responsnya sering tidak mendukung.
Ketika anak berkata,
“Aku sedih, Bu.”
orang tua menjawab,
“Ah, masa sedih, kamu kan masih kecil.”
Atau saat anak bercerita tentang tekanan di sekolah, yang keluar adalah kalimat seperti:
“Makanya belajar yang rajin, jangan main HP terus.”
Niatnya menasihati, tapi hasilnya: anak menutup diri.
Seperti dinding kaca — kita bisa melihat mereka, tapi tak bisa menjangkau isi hatinya.
Pendekatan Promosi Kesehatan: Komunikasi sebagai Upaya Pencegahan
Dari sudut pandang promosi kesehatan, komunikasi hangat antara guru, siswa, dan keluarga adalah bagian dari upaya promotif dan preventif kesehatan mental.
WHO (2023) menegaskan bahwa lingkungan sekolah dan keluarga yang suportif dapat menurunkan risiko stres dan perilaku berisiko pada remaja hingga 30%.
Artinya, komunikasi bukan sekadar “ngobrol”, tetapi strategi promosi kesehatan emosional — membantu anak memahami diri, mengelola emosi, dan mencari bantuan ketika perlu.
Belajar dari Pelatihan
Dalam sesi diskusi, kepala sekolah tadi akhirnya menyadari sesuatu yang sederhana tapi dalam:
“Ternyata bukan anak yang tidak mau bicara. Kadang kita yang tidak siap mendengarkan.”
Pelatihan itu mengajarkan bahwa sebelum meminta anak terbuka, guru dan orang tua perlu membangun kapasitas mendengar tanpa menghakimi.
Ini bukan sekadar keterampilan komunikasi, tapi kompetensi empati.
Guru bisa mulai dari hal kecil:
-
Menyapa dengan tulus setiap pagi.
-
Mendengarkan curhat tanpa langsung memberi solusi.
-
Mengakui perasaan siswa tanpa menilai benar atau salah.
Di rumah pun begitu — memberi ruang anak untuk bercerita tanpa interogasi atau kritik.
ð± Penutup: Dari Mendengar Menjadi Menyembuhkan
Anak-anak tidak membutuhkan orang dewasa yang sempurna. Mereka butuh orang dewasa yang mau hadir dan mau mendengar.
Kepala sekolah itu menutup refleksinya dengan kalimat yang menyentuh hati:
“Saya kira selama ini murid saya sulit diajak bicara.
Tapi ternyata, sayalah yang perlu belajar mendengarkan.”
Data
-
62% remaja sulit membicarakan perasaan dengan guru/orang tua (UNICEF, 2023)
-
47% takut dihakimi saat jujur bercerita
-
Dukungan lingkungan dapat menurunkan risiko stres remaja hingga 30% (WHO, 2023)