Senin pagi, 14 Juli 2025, notifikasi WhatsApp saya berbunyi. Di tengah rutinitas kerja yang padat selepas libur panjang kenaikan kelas, sebuah pesan muncul di grup WhatsApp “Sesado 1996/2000”. Pesan itu datang dari Reu Masan Raya, rekan seangkatan kami di Seminari San Dominggo Hokeng yang kini bekerja sebagai jurnalis di Papua. Kalimatnya lugas namun mengandung daya hentak yang kuat: "Teman-teman semua Angkatan 1996-2000, saya baru dapat pesan dari Kakak Ansel Atasoge (Seksi Publikasi dan Dokumentasi Panitia Intan Sesado Agustus 2025) bahwa panitia kekurangan tulisan refleksi tentang 75 Tahun Sesado. Oleh karena itu, beliau minta jika ada di antara kita bisa menulis, bisa 5-10 orang juga bisa. Tapi deadline 1 pekan karena mereka mau edit dan desain untuk cetak…". Tak hanya itu, dalam pesan tersebut turut disebutkan sejumlah nama rekan seangkatan yang diminta menulis: Mikael Rajamuda, Albert Muda, Benki Assan, Martin Miku, Victor Pantaleon, Pater Dou Ruing, Lusti Budiman, Darko King, Yosef Kelalef… dan nama saya pun tercantum di sana.
Sejenak, saya terdiam. Pikiran saya melesat jauh ke masa lalu, tepatnya ke bulan Juli 1996—saat pertama kali saya menginjakkan kaki di lembah Hokeng, bersama 122 anak muda dari berbagai pelosok Flores Darat, Solor, Adonara dan Lembata. Saya datang dari pulau kecil di selatan—Solor, tepatnya Paroki Menanga. Dalam banyak hal, saya merasa bukan siapa-siapa. Saya bukan orator ulung, bukan atlet tangguh, bukan juga juara kelas. Bahkan dalam musik, meski saya bisa memetik gitar dan menekan tuts keyboard, saya lebih memilih diam. Namun, justru dalam diam itulah saya menyerap banyak hal. Seperti kata filsuf Denmark Søren Kierkegaard, "Keheningan adalah benih dari pemahaman sejati." Di dalam keheningan Lembah Hokeng, saya mulai belajar mendengar, merenung, dan perlahan memahami arti hidup bersama dalam formasi panjang yang tidak selalu mudah.
Di Hokeng, kami belajar banyak hal, bukan hanya dari buku, tetapi juga dari satu sama lain—dari tawa dan tangis, dari konflik kecil hingga kerja bakti besar, dari nyanyian sore sampai renungan malam. Diam-diam, waktu membentuk kami. Kami bertumbuh dalam komunitas, dan komunitas itulah yang membentuk karakter. Saya menyadari bahwa pertumbuhan tak selalu ditandai dengan sorak sorai keberhasilan, tapi kadang tersembunyi dalam proses yang senyap dan konsisten. Kata-kata Henri Nouwen pun terasa sangat benar: “Community is the place where the person you least want to live with always lives.” Di sanalah kami belajar menerima dan membentuk diri dalam keberagaman karakter yang seringkali saling bertabrakan.
Kini, hampir tiga dekade berselang, pesan Masan bukan sekadar ajakan menulis. Ia adalah undangan untuk kembali menimba makna dari peristiwa lampau. Di tengah hiruk pikuk hidup dewasa ini, refleksi menjadi ruang bernapas. Dan dalam momen 75 tahun Sesado, menulis bukan lagi soal kemampuan literasi, melainkan bentuk kesetiaan pada kenangan, pada proses yang pernah membentuk kami, dan pada jejaring persaudaraan yang masih menyala hingga kini. Maka saya tahu, saya tak bisa tinggal diam. Saya akan menulis. Bukan karena saya hebat, tapi karena saya ingin merawat apa yang dulu pernah tumbuh dalam diam: jiwa yang belajar, tumbuh, dan terarah di lembah Hokeng yang sederhana itu.
Menjadi Pelengkap dalam Kelas yang Penuh Bintang
Saya tak masuk dalam barisan siswa yang bersinar terang. Di bidang akademik, nilai saya tergolong aman—tidak terlalu rendah, tidak pula mencolok. Dalam bidang olahraga, bahkan untuk disebut cadangan pun rasanya terlalu muluk. Saat teman-teman bermain bola dengan semangat dan teknik yang membuat penonton dan para senior tersenyum puas, saya sering kali hanya menonton dari pinggir. Menjadi pelengkap. Atau bayangan. Saya terbiasa hadir, tetapi nyaris tak pernah diperhitungkan.
Namun, siapa bilang pelengkap tidak bisa belajar? Justru karena saya banyak menyimak, saya belajar lebih dalam. Dalam diam, saya mencuri ilmu. Saya perhatikan bagaimana teman-teman menendang bola dengan percaya diri, bagaimana mereka bermain gitar tanpa ragu, bagaimana mereka menulis puisi atau membaca doa dengan penuh penghayatan. Dari kursi penonton, saya mengumpulkan pelajaran-pelajaran kecil yang tidak ditemukan dalam silabus. Seperti kata Simone Weil, “Attention is the rarest and purest form of generosity.” Barangkali saya memang tidak tampil, tetapi saya hadir dengan perhatian yang utuh.
Puncaknya terjadi saat saya duduk di kelas 3. Salah satu anggota band angkatan kami—Band B—harus keluar dari seminari, dan saya ditunjuk menggantikannya. Secara tradisi, setiap angkatan memiliki dua tim band: Band A yang penuh bakat dan sering tampil, serta Band B yang menjadi pelapis, penggembira, atau bahkan pengisi waktu latihan. Saya masuk ke Band B sebagai pengganti darurat. Sebuah posisi yang tidak bergengsi. Saya sendiri tidak pernah tampil di panggung. Latihan kadang hanya jadi alasan agar tetap punya kegiatan. Tapi saya tetap datang. Saya belajar memainkan beberapa akor, menyimak dinamika teman-teman, dan—sekali lagi—menyerap dalam diam.
Mungkin bagi orang lain itu bukan pengalaman yang patut dibanggakan. Tapi bagi saya, momen itu menjadi konfirmasi bahwa menjadi pelengkap bukan berarti tidak berguna. Ada pembelajaran dalam setiap ruang yang sepi. Saya belajar bahwa tidak semua orang harus menjadi vokalis untuk bisa menyanyi; tidak semua harus menjadi striker untuk mencetak makna. Diam-diam, saya menempa diri, membangun dasar yang kelak memberi arah. Seperti kata Lao Tzu, “A journey of a thousand miles begins with a single step.” Dan kadang, langkah pertama itu bukan ke panggung, melainkan ke dalam diri sendiri.
Kini, ketika saya menoleh ke belakang, saya merasa bersyukur pernah menjadi “orang pinggiran”. Tidak sebagai pusat perhatian, tapi sebagai saksi perjalanan teman-teman yang bersinar. Dari mereka saya belajar keterampilan, dan dari posisi saya sendiri saya belajar kebijaksanaan. Menjadi pelengkap bukan sekadar bertahan dalam bayang-bayang, tapi juga belajar merawat cahaya dalam diam. Karena dalam musik pun, tak semua suara harus terdengar keras—ada peran penting dari nada rendah, dari jeda, dari keheningan yang memberi ruang harmoni. Saya tak tahu, bahwa diam saya itu kelak menjadi modal hidup yang luar biasa.
Belajar dari Kekurangan, Belajar dari Krisis
Ada satu momen yang tak bisa saya lupakan: krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997 dan mencapai puncaknya pada 1998. Kami di Hokeng pun terdampak. Beras habis, dan kami harus dipulangkan sementara waktu. Beberapa kali hal ini terjadi. Sebagai anak sekolah yang sedang tumbuh dan lapar, itu bukan hal sepele.
Namun, kami belajar bertahan. Kami belajar dari kelangkaan. Bahkan, kadang untuk sekadar mengganjal perut, kami cari pisang. Bukan pisang di atas pohon—itu terlalu biasa. Kami cari pisang yang sudah matang, yang sebenarnya disembunyikan oleh teman lain. Ya, kami "mencuri" hasil curian. Lucu, bukan? Tapi itulah cara bertahan hidup dengan sedikit nakal dan banyak kreativitas. Mungkin saat itu bagi anak seminari mencuri pisang atau buah-buahan yang lain seperti sawo, nanas, dan alpukat bukan tergolong dosa, hehe.
Ada juga kisah klasik yang legendaris: kencing di botol dan simpan di kelas. Ya, betul. Satu kelas—41 orang—terlibat. Entah siapa yang memulai. Entah untuk alasan apa. Tapi ketika Frater Dedeo bertanya, semua diam. Tidak satu pun yang mengaku. Solidaritas kami kala itu begitu kuat, bahkan dalam kebodohan. Hampir saja satu kelas KPP 1 dipulangkan ke rumah masing-masing.
Sekolah yang Mengasah Multitasking
Mungkin orang zaman sekarang akan menyebutnya keterlaluan, bahkan tidak manusiawi. Tapi ketika saya mengenang kembali hari-hari di Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, saya hanya bisa tersenyum—dan heran—bagaimana kami bisa bertahan. Hari-hari kami dimulai sebelum matahari terbit dan baru berakhir saat malam benar-benar larut. Jadwal padat membentang dari pelajaran Bahasa Latin, Dramaturgi, Kitab Suci, Matematika dan Bahasa Inggris. Tak ada waktu yang benar-benar kosong. Bahkan akhir pekan pun diisi dengan kerja tangan: membersihkan asrama, menyapu halaman, mencangkul kebun, hingga membersihkan toilet.
Namun di balik semua itu, ada pelajaran penting yang kami peroleh tanpa disadari: kemampuan untuk mengatur diri. Kami dilatih untuk berpindah fokus dengan cepat tanpa kehilangan kualitas kerja. Di Hokeng, multitasking bukan jargon korporat, tapi kenyataan hidup sehari-hari. Kami belajar memprioritaskan tugas, mengelola waktu, dan menyelesaikan pekerjaan satu demi satu tanpa keluhan berlebihan. “Disiplin adalah jembatan antara tujuan dan pencapaian,” kata Jim Rohn. Dan kami membangun jembatan itu setiap hari—di ladang, di kelas, dan di ruang doa.
Pengalaman tersebut membentuk mental kerja kami hingga hari ini. Ketika saya kini menjabat sebagai kepala sekolah di SMA Regina Pacis Jakarta, saya tidak asing dengan tumpukan dokumen, rapat maraton, pembinaan guru, dan pengembangan program yang berjalan serempak. Saya tidak panik ketika semuanya datang bersamaan. Karena saya pernah menjalani versi yang lebih keras dari itu—di Hokeng. Dan saya menjalaninya bukan hanya dengan tubuh, tetapi juga dengan jiwa yang tahan digembleng oleh ritme keras namun teratur.
Bagi saya, Hokeng adalah tempat yang mengajarkan bahwa kerja adalah bagian dari formasi karakter. Seperti kata Santo Benediktus, ora et labora—berdoa dan bekerja—bukan hanya semboyan, melainkan gaya hidup. Kami diajarkan bahwa bekerja bukan penghalang untuk menjadi manusia rohani, melainkan justru cara untuk menyucikan hidup. Dalam membersihkan toilet atau kamar belakang istilah anak seminari, kami belajar rendah hati. Dalam menyapu halaman, kami belajar ketekunan. Dan dalam menyusun jadwal pribadi yang rapat, kami belajar bahwa waktu adalah anugerah yang tidak boleh disia-siakan.
Kini saya sadar, apa yang dulu terasa berat justru menjadi bekal yang meringankan langkah saya di kemudian hari. Seperti kata John Dewey, “Education is not preparation for life; education is life itself.” Di Hokeng, kami tidak sekadar disiapkan untuk masa depan. Kami sungguh-sungguh menjalani pendidikan sebagai hidup itu sendiri—lengkap dengan tantangan, kelelahan, disiplin, dan kebersamaan. Dan semua itu kini terbayar dalam bentuk ketangguhan, ketekunan, dan keluwesan dalam menghadapi dunia kerja yang makin kompleks.
Dari Hokeng ke Ibu Kota: Diam yang Menjadi Daya
Kadang, dalam hening pagi atau di sela-sela rutinitas sekolah, saya merenung: bagaimana mungkin seorang anak dari Solor—yang tak pernah juara kelas, tak pernah berdiri di podium lomba, atau menjadi sorotan di panggung-panggung besar—akhirnya dipercaya memimpin sebuah sekolah di ibu kota? Pertanyaan ini bukan datang dari keraguan, tapi dari kesadaran akan jalan panjang yang ditempuh dalam diam. Saya bukan anak yang menonjol, tapi saya belajar setia pada proses. Karena saya percaya, non in clamore, sed in silentio crescit virtus—kebajikan tumbuh bukan dalam kegaduhan, melainkan dalam keheningan.
Di Seminari Hokeng, saya belajar mendengarkan. Bukan hanya telinga, tapi batin. Saya mendengar suara hati sendiri, suara panggilan hidup, dan suara keheningan yang tidak memekakkan, tapi menuntun. Dalam diam, saya belajar menerima kenyataan bahwa saya tidak sempurna, tidak selalu bisa menjadi yang terbaik, tapi saya tetap bisa bertumbuh. Saya belajar bahwa humilitas verus est initium sapientiae—kerendahan hati adalah awal dari kebijaksanaan. Dan dari situlah kekuatan batin mulai dibangun perlahan.
Saya juga belajar untuk bertahan di tengah keterbatasan. Fasilitas yang sederhana, tantangan belajar yang berat, dan kesepian yang tak jarang datang diam-diam—semua itu menjadi bagian dari latihan jiwa. Saya belajar bersaing bukan dengan saling menjatuhkan, tapi dengan mengalahkan diri sendiri. Saya belajar bahwa proses yang sesungguhnya membentuk adalah yang tidak terlihat oleh mata, tapi terasa oleh hati. Virtus in arduis—kebajikan tumbuh dalam kesulitan.
Keheningan yang dulu saya jalani di Hokeng, kini menjadi sumber daya saat saya memimpin sekolah. Di tengah dunia pendidikan yang penuh target, kebisingan media sosial, dan tekanan pencapaian, saya membawa bekal yang berbeda: silentium et constantia—keheningan dan ketekunan. Bukan karena saya lebih baik, tapi karena saya tahu bagaimana rasanya diproses dalam sunyi. Dan justru dalam sunyi itulah, saya menemukan suara paling jernih tentang siapa saya sebenarnya.
Maka jika hari ini saya bisa berdiri di antara para pendidik hebat di ibu kota, itu bukan karena saya punya prestasi yang memukau. Tapi karena saya pernah belajar bertumbuh tanpa tepuk tangan. Saya pernah ditempa bukan untuk tampil, tapi untuk tahan. Dan dalam hati saya, warisan itu tetap hidup: radices profundae non facile moventur—akar yang dalam tidak mudah goyah.
Komunitas yang Mengasuh Jiwa
Mungkin inilah kelebihan Seminari Menengah San Dominggo Hokeng yang tak mudah dijelaskan dalam angka dan statistik: ia membentuk manusia secara utuh. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan sebuah rumah formasi. Di sana, kami dibentuk lewat prinsip 5S—Sciencia, Sanctitas, Sanitas, Societas, dan Sapientia. Dalam Sciencia, kami diajak mencintai ilmu, menekuni pelajaran bukan demi nilai, tapi demi pengertian. Dalam Sanctitas, kami dilatih hidup doa, membangun relasi personal dengan Tuhan lewat meditasi, adorasi, dan Ekaristi harian.
Dalam Sanitas, kami digembleng untuk kuat secara fisik—dari rutinitas olahraga pagi hingga kerja bakti di kebun atau dapur. Societas menjadi fondasi kehidupan bersama: kami hidup dalam komunitas yang menuntut kepekaan, toleransi, dan solidaritas. Dan dari semuanya, Sapientia menjadi mahkotanya—kebijaksanaan hidup yang tumbuh dari keheningan, refleksi, dan perjumpaan batin dengan diri sendiri.
Kami tidak hanya dididik secara intelektual, tapi juga dibentuk dalam karakter, spiritualitas, ketahanan fisik, dan kedalaman hati. Dalam banyak aspek, kehidupan kami menyerupai para novis yang digembleng dalam keheningan. Ada pola, ada ritme, ada kesunyian yang tak kosong. Kami belajar nilai, disiplin, tanggung jawab, dan doa. Kami dibentuk untuk tangguh dalam keheningan, kuat dalam kesepian, dan tetap rendah hati dalam kemenangan.
Salah satu tempat yang paling mengasuh jiwa kami justru bukanlah kapel atau ruang kelas, melainkan kamar makan. Saat itu, kamar makan dibagi menjadi dua: Kamar Makan A dan Kamar Makan B, dengan banyak meja berbentuk segi enam di dalamnya. Di meja itulah kami duduk, makan, dan bertumbuh bersama. Ada sistem dan peran yang jelas: siswa kelas 3 menjadi pembina meja, kelas 2 sebagai ketua meja, sedangkan kelas KPP dan kelas 1 sebagai anggota. Tetapi yang lebih penting dari struktur itu adalah nilai yang kami pelajari bersama—tentang berbagi, menghargai, dan kebersamaan yang tulus. Di meja makan, kami belajar menjadi manusia.
Kami tidak hidup dalam kelimpahan. Tapi justru karena itu, setiap potongan ikan menjadi simbol keadilan. Setiap buah alpukat yang dibagi enam, setiap dua bungkus mi goreng yang kami nikmati bersama, menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Bahkan hanya karena sepotong tahu atau sayur yang enak, kami bisa bersyukur bersama. Orang Hokeng biasa berkata, “baunya po bae”—sudah cukup sekadar baunya saja—tapi kami tahu, yang kami bagi lebih dari makanan: kami berbagi rasa, cerita, dan persaudaraan. Di meja makan itulah kami diajarkan bahwa kebersamaan bukan terletak pada banyaknya yang dimiliki, tapi pada ketulusan memberi.
Angkatan saya mungkin tak sampai sepuluh orang yang menjadi imam. Beberapa memilih jalan hidup lain, dan satu di antaranya, Romo Hean Atasoge, telah lebih dulu berpulang. Tapi kami tetap merasa terikat oleh akar yang sama, yaitu pengalaman hidup bersama di Hokeng. Entah kami kini menjadi imam, guru, dosen, aktivis, politisi, atau pebisnis, kami tetap membawa jejak formasi itu: cara tersenyum yang menenangkan, cara menyapa yang tulus, cara melayani yang penuh hormat. Semua itu tidak diajarkan dalam teori, tapi dihidupi dalam ritme sehari-hari.
Persaudaraan yang tumbuh dari pengalaman hidup bersama itu tidak lekang oleh waktu. Kami masih saling menyapa, saling mendoakan, dan tertawa mengenang masa-masa sederhana dulu. Ada ikatan batin yang tidak putus, seolah kami adalah saudara kandung dalam versi yang lebih spiritual. “Concordia parvae res crescunt, discordia maximae dilabuntur”—dengan keharmonisan, hal-hal kecil bisa tumbuh; dengan perpecahan, hal-hal besar hancur. Di Hokeng, kami belajar hidup bersama dalam harmoni, dalam kejujuran, dan dalam semangat saling mengangkat. Di sanalah jiwa kami diasuh—bukan semata untuk menjadi pribadi sukses, tetapi untuk menjadi manusia yang utuh.
Riak Diam yang Menyebar
Tahun ini, Seminari Menengah San Dominggo Hokeng genap berusia 75 tahun. Sebuah usia yang tidak hanya mencerminkan kedewasaan lembaga, tetapi juga menandai pengaruh yang telah menjalar dalam diam ke berbagai sudut kehidupan. Ini bukan sekadar ulang tahun institusi, tetapi perayaan atas proses formasi yang membentuk karakter dalam keheningan, dalam kesetiaan pada hal-hal kecil, dan dalam kesungguhan menjalani hidup bermakna.
Jejak alumni Hokeng dapat ditemukan di altar dan ruang kelas, di kantor maupun pasar, di bilik pelayanan hingga ruang-ruang kebijakan publik. Mereka tidak selalu mengenakan kalung salib atau jubah putih, tidak selalu tampil di depan layar atau podium. Namun, mereka membawa sesuatu yang istimewa: semangat Lembah Hokeng. Sebuah nyala yang tidak menyilaukan, tetapi menghangatkan; tidak memaksa, tetapi menggerakkan.
Saya tidak menulis ini karena merasa sebagai alumni yang hebat. Justru sebaliknya. Saya berasal dari barisan mereka yang lebih banyak mencatat daripada berbicara, yang bertumbuh dalam diam dan belajar lewat perenungan sunyi. Kami tidak tercatat dalam sejarah besar, tetapi kami tahu persis di mana akar kami tertanam. Dan kami percaya, seperti riak yang menyebar perlahan, semangat Lembah Hokeng tetap menjalar melalui langkah-langkah sederhana kami sehari-hari.
Menyalakan Terang Melalui Refleksi
Salah satu warisan terbesar dari Hokeng yang saya bawa ke dunia pendidikan adalah budaya refleksi. Saat dipercaya memimpin SMA Regina Pacis Jakarta, saya menjadikan nilai ini sebagai bagian penting dalam keseharian sekolah. Maka lahirlah program SEMEDI: Sepuluh Menit Bersama Diri, sebuah waktu hening di akhir setiap hari pembelajaran. Murid, guru, dan staf diajak berhenti sejenak dari hiruk-pikuk aktivitas untuk kembali ke dalam: mendengar suara hati dan memahami pengalaman harian mereka.
Refleksi SEMEDI didampingi empat pertanyaan utama: Apa yang terjadi hari ini? Perasaan apa yang muncul? Apa yang bisa kupelajari? Dan bagaimana pelajaran itu akan membentuk langkahku ke depan? Pertanyaan sederhana ini telah membuka ruang kesadaran yang dalam—membantu murid mengenal dirinya, dan guru memahami proses yang lebih dari sekadar transfer pengetahuan.
Setelah refleksi, kami membacakan Doa Damai Santo Fransiskus Asisi—sebagai perutusan batin. Bagi para murid, hasil renungan dibagikan di platform LMS sekolah dan bagi guru dibagikan di grup Telegram Guru. Dengan begitu, budaya refleksi tidak hanya menjadi kebiasaan personal, tetapi juga bagian dari budaya kolektif yang membentuk wajah sekolah pembawa damai.
Saya percaya bahwa dalam dunia yang semakin cepat dan gaduh, sekolah justru harus menjadi ruang yang memberi waktu untuk diam. Dalam diam, seseorang menemukan kekuatannya. Dalam diam, seseorang mengenal arah hidupnya. Dan dalam diam, semangat yang dulu kami kenal di Hokeng, terus menyala dalam wajah-wajah muda yang sedang kami dampingi hari ini.
Penutup: Citramu Sesado, Suluh Hidup Kami
Jika hari ini saya bisa menulis ini, itu bukan karena saya hebat. Tetapi karena saya pernah tinggal dalam sebuah taman jiwa yang mendidik dalam keheningan. Di Lembah Hokeng, saya belajar bahwa pertumbuhan sejati bukan hasil dari sorak-sorai, tetapi dari kesetiaan yang tersembunyi. “Silentium est eloquentia cordis”—keheningan adalah kefasihan hati. Di balik langit pagi yang berselimut kabut, di balik doa-doa pagi yang lirih, kami ditempa untuk menjadi terang yang tidak silau, tapi mengarahkan.
Sesado adalah taman itu—“Dikau taman idaman, pendamba imamat”, tempat benih-benih panggilan ditabur dengan sabar. Ia bagaikan “kandil mungil yang bersinar kerlap”, tak mencolok, tapi cukup menerangi jalan hidup banyak orang. Nilai-nilainya adalah warisan dari Sang Kristus Imam Agung, yang terus hidup dalam semangat para alumni. “Exemplum dat nobis Dominus”—Tuhan memberi teladan bagi kita. Maka ketika kami terpanggil menjadi guru, imam, kepala sekolah, atau pegiat kemanusiaan, kami membawa serta “Citramu, Sesado… kujadikan suluhku.”
Selamat ulang tahun ke-75, Seminari San Dominggo Hokeng. Di lembah Hokeng permai engkau pernah bersaksi megah. Dan kini, kesaksianmu menyebar jauh, dalam berbagai profesi dan panggilan, dalam kasih dan rendah hati. “Non nobis Domine, sed nomini tuo da gloriam”—bukan untuk kami, Tuhan, tetapi untuk kemuliaan nama-Mu. Dalam kami, engkau tetap hidup. Dalam doa dan karya, dalam diam dan terang, dalam syukur yang tak henti. Sesado, engkau tetap menyala—di hati, di langkah, di sepanjang usia.
Oleh: Yulius Maran – Alumni SESADO 1996-2000 -
Tulisan ini sudah dimuat dalam buku Kenangan 75 Tahun Sesado