_Selembar Kertas Airmata_
Badai itu datang, tapi bukan melalui udara,
memporak-porandakan banyak keluarga.
Menghancurkan banyak mimpi,
menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Bukan salah devaluasi rupiah,
bukan juga salah kebijakan ekonomi semata.
Yang salah hanya:
raksasa-raksasa bisnis yang lupa berakar,
berlomba menumbuhkan daun,
hingga batangnya rapuh dalam badai tak terduga.
Mereka lupa, manusia di balik angka,
yang hidupnya adalah rantai nafkah,
bukan sekadar variabel dalam laporan tahunan.
Mereka lupa, tangan-tangan pekerja
adalah denyut nadi ekonomi,
yang terus memutar roda di jalan-jalan kota.
Badai itu datang tanpa membawa hujan,
hanya kabar buruk yang tiba di depan pintu.
Surat PHK
selembar kertas yang lebih tajam dari belati,
mengiris perlahan, meninggalkan bekas luka
di dada ayah, ibu, dan anak-anak yang belum mengerti arti kata "pemutusan."
Di tepi malam, seorang ayah terdiam,
menatap tangan kosong penuh debu rindu.
"Di mana janjimu, hidup?" bisiknya lirih,
"Ketika keringatku tak lagi dihitung sebagai berkah."
Pabrik-pabrik itu kini sunyi,
mesin-mesin diam menggantikan doa-doa pagi.
Di ruang keluarga yang tak lagi hangat,
seorang ayah memikirkan:
harus ke mana langkah ini mencari remah peluang,
ketika pekerjaan kian langka seperti oase di gurun?
Di luar sana, pasar kerja adalah medan perang,
di mana semua orang membawa pedang,
namun ia hanya punya doa yang disulam dari luka.
Anaknya, kecil, bertanya tanpa suara,
"Kenapa ayah menangis di meja makan kita?"
Bagaimana ia menjawab,
ketika kata-kata tak cukup menjelaskan,
bahwa dunia ini kadang kejam dan penuh serapah.
Di layar televisi, para pemimpin bicara solusi,
namun di dapur, hanya bunyi panci kosong
yang menjawab kecemasan istrinya.
"Kesabaran," katanya, "adalah modal terakhir kita."
Namun sampai kapan kesabaran mampu mengisi perut yang keroncongan?
Anehnya, Bumi tetap diam
Dan hidup harus terus berjalan, tak peduli air mata dan darah bercucuran...
_Penulis : Ririe Aiko_