Hi, Koteker dan Kompasianer, apa kabar? Masih sehat dan bahagia, bukan.
Sabtu lalu, Komunitas Traveler Kompasiana dan Perempuan Berkebaya Indonesia cabang Eropa sudah mengajak kalian untuk menyimak pelaut Indonesia yang suka memakai kebayak dalam pelayaran keliling dunia. Lewat Ika Permatasari Olsen dari Pasuruan, Jatim, kita jadi semakin ingat bahwa memang nenek moyang kita pelaut, harus lestari. Kamu mau jadi pelaut juga? Seenggaknya, kalian bisa renang, jadi kalau banjir, aman.
Mimin happy banget mendengar apa kata mbak Ika, yang dari awalnya nol putul nggak tahu teknis perkapalan, nggak bisa berlayar sampai jadi bisa berlayar sendiri. Berawal dari berlayar bersama suami, lalu diajarin. Kemudian berlayar bersama ke sana-ke mari, sampai akhirnya dapat SIM berlayar dari Norwegia Maritim DL5 dan berlayar solo. Alah bisa karena biasa. Cinta datang dari mata turun ke hati.
Niatan mbak Ika yang bonek - bondo nekat tadi, menginspirasi kita semua, apa-apa itu ya, kalau mau pasti bisa. Asal ada usaha, iya kan. Tahukah kalian? Bayangkan dalam pelayaran pertama selama 30 jam, mbak Ika nggak melihat daratan. Eneg. Mau muntah. Alhamdulillah, akhirnya, kini sudah biasa dan nggak mabuk lagi kala berlayar.
Apa tipsnya buat kita, supaya kuat anti mabuk seperti mbak Ika yang sekarang?
- Mabuk itu awalnya terantuk di mata. Ganti pandangan supaya sensori mata bisa dinetralisir.
- Stop. Berhentilah, menuju daratan. Mbak Ika menyarankan untuk jalan-jalan di anjungan, melihat horizon.
- Bawa makanan tapi jangan gorengan, ya.
- Bawa jus buah seperti jeruk.
- Jangan minum obat anti mabuk karena nanti ngantuk dan terlewat pemandangan indah di sekiling dan kehidupan laut yang alami.
- Selamat mencoba.
Saat Kotekatalk-212 itu, mbak Ika berada di kapal. Kebetulan memang di musim dingin ini, mbak Ika dan suami berlabuh di Amsterdam. Untung internet bagus, nggak putus-putus koneksinya. Katanya lagi, sampai tahun 2020, ia pakai SIM card. Internet Ividium mahal, jadi hanya untuk download cuaca demi pelayaran, supaya aman dan nyaman.
Ditanya tentang dukungan keluarga, awalnya memang kurang begitu paham pilihan mbak Ika ini. "Apa nggak ada kegiatan lain selain berlayar, sih?" Sebab sudah berkeluarga, mbak Ika bebas menentukan pilihan, dong. Ia nggak ragu melakukan apa kata hatinya. Toh, akhirnya keluarganya mengetahui manfaat dan sisi positif dari berlayar yang ia lakukan. Misalnya sharing di beberapa media yang memberikan manfaat bagi banyak orang.
Apakah pengalamannya sejak 2018 itu akan dibukukan? Opininya, sudah banyak orang yang menulis tentang perjalanan mengarungi lautan. Apalagi waktunya kurang untuk menulis. Hanya saja, ia tetap rajin menorehkan perjalanannya dalam jurnal. Menurutnya, catatan itu bisa saja bermanfaat untuk tujuan edukasi. Misalnya tentang bagaimana berlayar di lautan negeri lain, bukan di tanah air. Bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari di kapal. Yakni dengan berbelanja di Marina untuk beli stok mengisi 3 kulkas kapal, contohnya.
Jika ada yang iseng bertanya, "Mengapa nggak makan ikan dari laut saja, gratis dan banyak?" Ternyata tidak semudah itu, Ferguso. Di lautan itu ada aturannya; mana area yang boleh untuk memancing, mana yang nggak boleh karena ada ranjau atau bahan radioaktif dan lain sebagainya.
Dan lagi, saat memancing, harus banyak persiapan yang harus dilakukan. Misalnya, memutar kapal ke arah tertentu supaya menggulung layar kapal dengan baik. Jika tidak tepat, bisa menyebabkan tali patah. Lantas, layar pun harus total tertutup.
Membayangkan kekuatan macam apa yang harus dipunyai mbak Ika saat menggulung layar, mengemudi dan memancing, rupanya ada rahasianya, saudara-saudara. Yoga! Olahraga yang dijalani selama tinggal di kapal untuk menjaga kebugaran. Kamu rajin olah raga juga, kan? Biar sehat jasmani-rohani, nggak sakit-sakitan.
Aih, seru sekali ngobrol dengan mbak Ira ini. Sampai pak Suharyadi di Bandung bertanya apakah kapal mbak Ika monohall. Kapal itu kan ada 2 jenisnya; satu lambung dan dua lambung. Mbak Ika punya satu lambung dengan simpanan air 27 ton. Pertanyaan lain dari mbak Siti di Bonn, Bahrudin dan Eka di Banjarmasin dan pak Sutiono di Jakarta menambah renyahnya suasana.
Sebagai salah satu member dari PBI - Perempuan Berkebaya Indonesia cabang Eropa, mbak Ika gemar mengenakan kebaya dan wastra. Gemes, ya. Ia mengaku sudah menyukai pakaian tradisional Indonesia ini sejak lama saat di tanah air. Dari Indonesia, ia biasa membeli untuk dibawa ke luar negeri. Buntutnya, menarik perhatian orang-orang luar negeri di sekitarnya dan bertanya "Dari mana?", "Bajunya bagu!", "Eh, foto dong..." Mirip gambaran bule di tempat wisata lokal yang dikejar orang Indonesia untuk selfie bareng. Memang di luar negeri, mbak Ika yang jadi bule, sih.
Mengakhiri perbincangan dengan teman-teman dari Jakarta, Bandung, Banjarmasin, Jerman dan Swiss, mbak Ika berpesan supaya kita semua jadi orang yang open minded, terbuka karena di dunia ini banyak perbedaan. Toleransi itu perlu. Kalian sendiri gimana?
Baiklah, dari Belanda, Komunitas Traveler Kompasiana dan Pesanggrahan Indonesia, e.V. Bonn mengajak kalian untuk berangkat ke Swiss. Adalah Mivi Slivka. Wanita Aceh ini akan menceritakan pengalamannya membuat tempe bersama suami di Swiss saat musim dingin. Sekarang ini masih winter, kawan. Brrrrr ...
Untuk itu, kami mengundang kalian pada:
- Hari/Tanggal: Sabtu, 2 Februari 2025
- Pukul: 16:00 WIB Jakarta/ 10.00 CET Berlin/Zürich
- Link: DI SINI
Perempuan kelahiran 1984 ini dulunya pernah menjadi office manager PT Perentjana Djaja tahun 2015-2021 dan sekretaris perusahaan Deong Myeong Engineering consultan and architecture di Jakarta tahun 2012-2015. Sekarang ini tinggal di Rheinfelden, Swiss. Negeri indah yang mirip di negeri dongeng yang barangkali pernah kalian baca. Danau dan gunungnya luar biasa memesona mata. Sampai-sampai gunung menjadi tempat healing mbak Mivi saat ini. Jangan iri, ya.
Kesibukan sehari-hari mengantar anak, belanja dan belajar bahasa Jerman membuatnya memiliki hobi di medsos, memperlihatkan kegiatannya di negeri Swiss. Sederhana tapi menarik sekali, buat kita orang Indonesia yang suka kepo. Apalagi soal tempe yang bisa dikonsumsi setiap hari di Indonesia, murah-meriah. Bahkan, tinggal beli dan makan di warung. Di luar negeri? Nggak semudah kata-kata. Walau bisa membeli online, mbak Mivi dan suami rela membuat tempe di musim dingin. Caranya gimana, ya? Kok, suaminya mau diajak bikin tempe? Apa motivasinya? Bagaimana cara mbak Mivi merayunya? Dapat bahan kedelai dan ragi dari mana? Apa yang harus diperhatikan saat membuat tempe di musim dingin? Nanti disimpan di freezer tahan berapa lama tempenya? Nggak busuk atau pahit? Apa keluarga mbak Mivi suka makan tempe semua? Tempe dibuat kuliner apa aja selain tempe goreng? Bagaimana dengan teman dan tetangga? Apa mereka sudah pernah mencicipi tempe bikinannya? Ke depan, mau usaha UMKM tempe di Rheinfelden?
Penasaran apa jawabannya? Ya, udah, jangan ketinggalan zoom sama mbak Mivi, deh. Kotekatalk- 213.
"Buah durian harum baunya, buah manggis manis rasanya. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana, kita keliling dunia."
Sampai jumpa Sabtu.
Salam Koteka. (GS)