Dalam dunia kepenulisan, kita akrab dengan ungkapan “show, don’t tell." Artinya, tunjukkan, bukan sekadar memberitahu. Namun, sering kali pendekatan ini hanya menekankan visual.
Banyak penulis lebih banyak melukis dengan mata. Warna senja, kilau air, atau lekuk senyum. Padahal manusia memiliki lima pancaindra, dan salah satu yang paling kuat memicu memori dan emosi adalah indra penciuman.
Kali ini, kita akan menyelami dunia menulis dengan hidungmu, secara harfiah. Kita akan menelusuri teori, latihan, dan praktik menulis deskriptif melalui aroma, dimulai dari bau hutan dan daun basah.
Indra Penciuman dalam Descriptive Writing
Psikolog kognitif menyebutkan bahwa aroma adalah pemicu paling kuat terhadap memori emosional. Penelitian oleh Herz & Cupchik (1992) menunjukkan bahwa bau dapat membangkitkan kenangan masa lalu lebih kuat daripada suara atau gambar. Inilah yang membuat aroma memiliki kekuatan naratif yang sangat personal.
Dalam konteks penulisan, pendekatan sensorik atau indrawi disebut “sensory writing” atau “sensory description.” Penulis fiksi dan nonfiksi bisa menggunakan semua pancaindra untuk membangun dunia cerita yang lebih hidup.
Sayangnya, penciuman adalah yang paling sering terlupakan. Padahal, menurut penulis Natalie Goldberg dalam bukunya "Writing Down the Bones," menulis yang baik dimulai dari kesadaran penuh terhadap momen dan dunia sekitar, termasuk bau-bauan yang mungkin terasa sepele.
Mengapa Aroma?
Pertama, aroma itu khas dan personal. Bau tanah setelah hujan (disebut petrichor) bisa mengingatkan seseorang pada masa kecil, rumah nenek, atau perjalanan mendaki gunung. Yang satu menciumnya sebagai ketenangan, yang lain sebagai rasa takut akan longsor atau gempa bumi. Setiap reaksi bisa menjadi bahan cerita.
Kedua, aroma tidak bisa dilihat. Ini menantang penulis untuk menemukan cara kreatif untuk menjelaskan sesuatu yang tak terlihat tapi terasa nyata. Seperti menuliskan rasa lapar tanpa menyebut "lapar," aroma menuntut pendekatan metaforis dan naratif yang kuat.
Ketiga, aroma membangun atmosfer. Ketika pembaca mencium “bau ikan asin yang menempel di dinding kayu dapur," mereka tidak hanya tahu tempatnya, mereka merasakannya.
Latihan Menulis dari Bau Hutan
Mari kita mulai dari pengalaman nyata, bayangkan kamu sedang berada di hutan setelah hujan. Hutannya bebas, boleh Kebun Raya Bogor misalnya, atau hutan di belakang sekolahmu di desa. Bagaimana cara kita bisa menuliskannya?
1. Sadari Aroma yang Muncul
Tutup mata dan bayangkan suasana hutan basah:
- Apa aroma paling pertama yang menyentuh hidungmu?
- Apakah itu bau tanah? Daun? Jamur? Kayu?
- Apakah baunya segar atau tajam? Mengingatkan sesuatu?
2. Catat Kesan dan Asosiasi
Tulis bebas selama 5 menit:
- Bau ini mengingatkanku pada…
- Bau daun basah terasa seperti…
- Jika bau ini berwarna, warnanya adalah…
Tujuannya bukan membuat kalimat sempurna, tapi menyalakan koneksi antara hidungmu dan kata-kata.
3. Buat Paragraf Deskriptif
Gunakan teknik layered description, yaitu menggabungkan indra lain dengan aroma. Misalnya:
Hutan itu tidak hanya hijau, ia lembap. Tanah menguapkan bau pahit yang lengket seperti lumpur kenangan. Di antara batang pohon, daun yang jatuh mengirimkan aroma tua, perpaduan antara teh basi, jamur liar, dan sesuatu yang usang tapi menenangkan.
Strategi Bahasa untuk Menulis Aroma
Untuk menuliskan aroma dari indra penciuman ke kata-kata hingga menjadi kalimat demi kalimat, pertama, kita bisa menggunakan perbandingan. Misalnya:
- Baunya seperti bantal lama yang dijemur setelah badai.
- Aromanya menusuk, serupa pisang yang terlalu lama tergeletak di bawah kursi.
Kedua, kita juga bisa menggunakan kata kerja aktif. Aroma tidak hanya ada, tapi bisa menyergap, merayap, memeluk, menyelinap. Misalnya:
- Aroma daun basah menyelinap ke kerah bajuku.
- Bau kayu lapuk menyerbu lubang hidung seperti tentara bayangan.
Ketiga, personifikasi dan metafora. Misalnya:
- Hutan bernapas dalam embusan busuk yang jujur.
- Aroma tanahnya seperti nenek tua yang baru bangun tidur. Hangat, lelah, tapi begitu akrab.
Keempat, eksplorasi emosi yang muncul dalam hatimu. Misalnya:
- Aroma itu membuatku ingin diam.
- Bau itu membuat perutku mual, entah karena trauma atau terlalu banyak kenangan di dalamnya.
Latihan “Bank Aroma”
Sekarang, agar kamu lebih pandai mendeskripsikan aroma menjadi sebuah cerita, lakukan latigan berikut. Namanya "Bank Aroma."
Buat daftar 10 bau yang kamu kenal dan reaksi emosional terhadapnya.Perhatikan contohnya.
Kamu mencium bau kopi hitam. Reaksi dan kenangan yang muncul pertama kali di pikiranmu adalah semangat pagi di stasiun kereta.
Contoh kedua, bau daun basah. Reaksi dan kenangan pertama yang muncul di pikiranmu adalah kenangan pertama naik gunung bareng ayah.
Ketiga, bau minyak kayu putih. Kenangan pertama yang muncul di pikiranmu adalah bau masa kecil, saat kamu masuk angin atau demam, kemudian ibu mengoleskan minyak kayu putih dengan lembut ke perutmu.
Nah, sekarang, coba berikan reaksi dan kenangan saat kamu mencium aroma-aroma berikut ini:
- Aroma asap pembakaran sampah
- Aroma buku tua
- Aroma kucing basah
- Aroma kamar kos lembap
- Aroma parfum menyengat
- Bau pantai
- Bau deterjen
- Bau hujan
- Bau aspal panas
- Bau got
- Bau daun kering
- Aroma ayam goreng
- dll
Daftar aroma ini bisa menjadi bahan mentah untuk puisi, esai, atau paragraf deskriptif di karyamu. Kapanpun kamu merasa buntu, kamu bisa kembali ke bank aroma ini. Jadi, silakan koleksi sebanyak mungkin aroma beserta reaksi dan kenangan ala kamu.
Kapan Aroma Dipakai dalam Tulisan?
Indra penciuman dalam cerita bisa menjadi jalan masuk yang efektif. Fungsinya bisa menjadi perangkat naratif yang kuat untuk membuka cerita, membangun ketegangan, memperdalam emosi, bahkan menjadi simbol dengan lapisan makna.
Lalu, kapan saja aroma bisa dipakai dalam tulisan?
1. Pembuka cerita
Ketimbang langsung menjelaskan lokasi atau karakter, kamu bisa membuka aroma khas yang langsung menciptakan suasana.
Contoh:
Bau kayu bakar dan hujan semalam masih menggantung di udara saat ia melangkah ke teras tua itu.
Tanpa menyebut nama tempat atau waktu, pembaca sudah ‘masuk’ ke atmosfer yang disuguhkan. Aroma menciptakan kedekatan instan karena ia bersifat personal dan emosional, membuat pembaca merasa ada di sana.
2. Puncak emosi
Aroma sering menjadi pemicu kenangan yang tak disangka. Saat karakter mencium aroma tertentu, misalnya parfum lama, masakan ibu, rumput basah sore hari, emosi yang tertimbun di hatinya bisa meledak.
Contoh:
Bau minyak rambut itu, tepat seperti milik ayahnya, membuat tangannya gemetar tanpa alasan yang jelas.
Di sini, aroma bisa menjadi jembatan antara masa kini dan masa lalu, membantu pembaca memahami kedalaman psikologis tokoh.
3. Konflik
Aroma juga bisa menjadi sinyal akan adanya ancaman, bahkan sebelum konflik muncul secara eksplisit.
Contoh:
Ada bau logam terbakar. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
Indra penciuman dalam hal ini menciptakan ketegangan melalui detail kecil yang menggoda rasa curiga pembaca.
4. Simbolisme
Aroma juga bisa berfungsi sebagai simbol. Ketika konsisten, aroma bisa menjadi motif yang memperkaya tema cerita secara mendalam.
Contohnya, bau jasmin bisa menjadi lambang cinta yang tak selesai, aroma tanah basah sebagai pertanda kesedihan, atau bau bensin sebagai metafora ketidaksabaran dan pelarian.
Dengan kata lain, aroma tidak harus dijelaskan panjang lebar, cukup satu atau dua kalimat tajam yang tepat sasaran, dan dunia cerita pun hidup seutuhnya.
Banyak dari kita diajari menulis dengan “lihat dan ceritakan.” Namun, dunia tidak hanya dilihat. Ia dihirup, didengar, disentuh, dirasakan. Aroma, meski tak terlihat, punya kekuatan untuk mengaduk emosi dan membangun atmosfer yang lebih kaya dalam tulisan.
Mulailah dari tempat yang paling sederhana di sekitarmu. Menulis itu bukan hanya dari pikiran. Kadang, ia dimulai dari napas, dari bau hutan yang tak kau duga bisa membawa kata-kata pulang.***