Kalau Anak Meledak, Jangan Cuma Padamkan: Ajari Kenali Api

2025-11-12 17:10:31 | Diperbaharui: 2025-11-14 19:11:47
Kalau Anak Meledak, Jangan Cuma Padamkan: Ajari Kenali Api
Menkes pada Ayo Sehat Festival ikut edukasi STIFIn di booth Aisyiyah DKI

Media masih rame banget soal kasus peledakan di SMA 72 Jakarta.
Dari hasil penyelidikan, pelakunya adalah seorang siswa yang merasa dibully dan nggak punya tempat curhat.
Bukan soal bom-nya aja yang bikin ngeri — tapi rasa sepi di baliknya.

Dan dari sini, banyak pendidik mulai sadar:

“Kalau anak nggak bisa ngatur emosi, mungkin karena mereka nggak pernah diajar cara mengenalinya.”


Anak Bukan Nggak Punya Emosi — Mereka Belum Paham Emosi Itu Apa

Kita sering lupa bahwa emosi itu bukan musuh, tapi sinyal.
Sayangnya, banyak anak yang tumbuh di lingkungan di mana mereka hanya tahu dua mode:

  • “Baik = diterima”

  • “Marah = salah”

Padahal, marah itu bisa jadi tanda takut, sedih, atau kecewa.
Tapi kalau sinyal itu nggak pernah dikenali, ya akhirnya meledak di tempat dan waktu yang salah.


Data Bicara: Emosi Tak Terkendali Itu Bukan Masalah Kecil

Menurut laporan Kemenkes 2024, sekitar 15,3% remaja Indonesia menunjukkan gejala gangguan emosional ringan hingga sedang, terutama karena tekanan akademik dan sosial.
Penelitian dari UNICEF (2023) juga menunjukkan bahwa 1 dari 4 siswa SMP–SMA di Indonesia pernah mengalami bullying, dan dari kelompok ini, lebih dari separuhnya melaporkan sulit mengendalikan emosi.

Yang menarik, studi American Psychological Association (APA, 2022) menyebut bahwa program pembelajaran sosial-emosional (SEL) bisa menurunkan perilaku agresif siswa sampai 42%kalau mereka diajar cara mengenali perasaan dan memprosesnya dengan benar.


STIFIn & Emosi: Tiap Otak Punya Cara Sendiri Buat “Mendidih”

Kalau ditarik ke pendekatan STIFIn, cara anak memproses emosi itu beda-beda:

  • Sensing: Emosinya muncul karena situasi konkret (apa yang dilihat atau dirasakan langsung).

  • Thinking: Butuh alasan logis dulu sebelum mengekspresikan emosi.

  • Intuiting: Emosinya sering datang dari imajinasi atau makna besar di kepalanya.

  • Feeling: Paling sensitif terhadap hubungan & respon orang lain.

  • Insting: Emosi naik-turun cepat, tapi juga cepat hilang — seperti ombak.

Jadi, kalau guru dan orang tua tahu “mesin emosi” anaknya, cara menenangkan mereka pun bisa disesuaikan.

Contoh:

  • Anak Feeling yang dibully → perlu divalidasi emosinya dulu, baru diarahkan.

  • Anak Thinking → perlu diajak analisis, bukan dihibur berlebihan.

  • Anak Insting → lebih efektif kalau dikasih aktivitas fisik atau distraksi sehat.


Cara Sekolah Bisa Bantu Anak Mengenali Emosinya

  1. Masukkan program Emotional Check-In
    Setiap pagi, minta siswa isi “mood meter” sederhana: bahagia, netral, sedih, marah, takut.
    Guru bisa pantau siapa yang mulai terlihat nggak stabil.

  2. Gunakan pendekatan STIFIn atau profil kepribadian lain
    Supaya guru tahu: siapa yang ekspresif, siapa yang pendiam tapi menyimpan banyak.

  3. Latih guru untuk jadi “pendengar profesional”
    Kadang anak nggak butuh solusi, cuma butuh didengar tanpa dihakimi.

  4. Kolaborasi dengan orang tua
    Supaya gaya komunikasi di rumah nyambung dengan di sekolah.


 Penutup Santuy Tapi Nancep

Ledakan di SMA 72 bukan cuma tentang bahan peledak — tapi juga tentang emosi yang nggak pernah dikupas tuntas.
Anak-anak bukan bom waktu.
Mereka cuma butuh seseorang yang mau ngajarin cara membaca kabel dalam dirinya sendiri, sebelum semuanya korslet.

Mengajari anak mengenali emosi bukan kelembekan.
Itu investasi supaya mereka nggak meledak — di rumah, di sekolah, atau di dalam hati sendiri.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar