Seorang Pria yang Selalu Menangis Sambil Bernyanyi

2023-07-19 14:56:43 | Diperbaharui: 2023-07-19 16:31:16
Seorang Pria yang Selalu Menangis Sambil Bernyanyi
sumber gambar: gambarpng.id

Pria itu bernyanyi dengan sekuat tenaga. Dengan suaranya yang lantang.
Setengah parau, tidak merdu, tapi semangatnya selalu mengharu biru.

Iya. Si lelaki memang selalu bersemangat setiap kali menyanyikan lagu itu. Mau
di mana saja, pada acara apa saja, dan entah kenapa.

Ia lahir di Indonesia. Tujuh puluh tahun yang lalu. Pada saat negeri ini masih
caruk-maruk. Miskin, kata orang. Tapi, tidak sekali pun ia merasakan itu sebagai
masalah. Sebabnya ia memang sudah terlahir miskin.

Baginya, “hidup adalah penderitaan, tapi kemiskinan bukanlah alasan untuk
bermalas-malasan.”

Ah, klise. Tapi, bagi lelaki itu penting.

Itulah sebabnya ia tidak pernah mau menyerah kepada nasib. Berkah, yang kata
orang berasal dari langit, tidaklah terlalu penting.

“Tuhan sudah sibuk, biarlah aku mengurus diriku sendiri.”

Bagi sebagian orang, itu adalah refleksi dari etos kerjanya, tetapi sebagian lagi
menuduhnya komunis. “Tidak pernah berdoa, tidak tahu pula apa agamanya.”

Dan, itu terjadi pada tahun 1965. Ketika ia diusir dari negeri ini. Namun, sang
lelaki tetap tidak mau pergi dari negeri kelahirannya. Alhasil selama 32 tahun ke
depan, ia selalu dicurigai sebagai komunis. Padahal, hanya ia yang tahu. Dirinya
adalah seorang Pancasilais sejati.

Itulah mengapa ia selalu bernyanyi dengan sekuat tenaga. Dengan suaranya
yang lantang. Setengah parau, tidak merdu, tapi semangatnya selalu mengharu
biru.

Lelaki itu suka uang. Tapi, itu beralasan. Sebabnya ia telah membuktikan
dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana rumah kayu di dalam lorong,

bertransformasi menjadi tiga buah ruko di bilangan jalanan prima. Bagaimana
industri kopi rumahan di pinggir kota telah menjelma menjadi sebuah pabrik
raksasa di kawasan industri.

“Ah, tidak perlu menyombongkan diri.” Begitu yang selalu ia katakan. Kepada
setiap orang yang memujinya. Bukan karena ia takut rezekinya hilang dipalak
preman jalang. Bukan pula takut kalau jerih payahnya akan berkurang ditilep
tukang pajak liar. Tidak seperti itu.

Ia hanya berdalih, “aku beruntung telah lahir di sebuah negeri yang gemah ripah

loh jinawi. Sebuah negara yang bernama Indonesia. Tanpa itu, aku bukan siapa-
siapa. Untuk apa aku menyombongkan diri.”

Sayangnya, hasil jerih payahnya membawa masalah. Si lelaki dituduh
pengkhianat. Membawa kabur uang hingga ke tanah leluhur. Padahal, ia tidak
pernah menginjakkan kakinya di sana. Ia hanya kenal Indonesia.

Dan, itu terjadi ketika malaikat tidak lagi mendengarkan doanya. Membiarkan
dirinya dihancurleburkan oleh takdir, diporak-porandakan oleh nasib.

Tepatnya, pada 1998 silam. Pada saat negeri ini dilanda krisis moneter. Pada
saat negara ini sedang dilanda badai kerusuhan. Si lelaki harus rela melihat
seluruh harta bendanya dijarah oleh teman-teman sebangsanya.

Ditambah lagi, Iblis tidak mengenal belas kasihan. Sang lelaki harus kehilangan
identitasnya. Terkucil dari bangsanya sendiri. Terusir dari negerinya sendiri.

Hatinya pernah hancur, jiwanya pernah porak-poranda. Namun, itu tidak
menyurutkan cintanya kepada ibu pertiwi. Ia masih bergeming. Tidak mau pergi
dari negeri kelahirannya.

Itulah mengapa ia selalu bernyanyi dengan sekuat tenaga. Dengan suaranya
yang lantang. Setengah parau, tidak merdu, tapi semangatnya selalu mengharu
biru.

Sebagaimana yang terjadi hari ini.

Matanya berkaca-kaca. Kacamatanya kabur, dipenuhi uap dari hatinya yang
membara. Hidungnya terasa sesak, akibat lendir yang menghambat aliran
udara. Keringat memenuhi sekujur tubuhnya, akibat jantungnya yang berdegup
kencang.

Ia selalu begitu. Selalu seperti itu ketika menyanyikan lagu itu.

“Hiduplah Tanahku, Hiduplah Negeriku, Bangsaku, Rakyatku, Semuanya,
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya.
Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka, Tanahku, Negeriku yang Kucinta,
Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya.”

Beginilah kisah sang lelaki yang selalu menangis setiap kali menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Dan, dia adalah aku. Orang Cina yang tidak pernah berhenti
mencintai Indonesia.

**

Kisah Fiksi oleh Acek Rudy

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
3 Orang menyukai Artikel Ini
avatar
Sungguh kisah yg mengharu biru, tetap tegar saudaraku apapun situasinya Indonesia tanah Air kita. Salam hangat dari seberang Acek Rudi. Salam palu gada!
2023-07-19 20:19:41