Plagiarisme tidak hanya terjadi pada satu buku atau satu bab. Yang paling berbahaya justru penjiplakan pada plot, atau beberapa scene.
Jika plagiarisme dilakukan satu buku, kita bisa menilainya dia tidak mampu, dan hanya ingin pamer atau ada tujuan komersial. Tetapi jika plagiarisme pada alur atau adegan tertentu saja, maka dipastikan orang itu memiliki kemampuan menulis, namun dengan daya imajinasi rendah.
Contohnya adegan tidak sengaja. Dalam beberapa novel picisan, atau sinetron yang abai pada logika, sering dijumpai adegan di mana dua tokohnya tabrakan depan kelas secara tidak sengaja. Atau terjadi kesalahpahaman yang berujung romantis.
Adegan pengulangan (repetitif) lainnya yang paling banyak dijumpai adalah meletakkan perhiasan milik tokoh jahat pada tempat atau barang tokoh utama yang teraniaya.
Penulis adalah kreator sekaligus pembaharu. Penulis harus bisa menciptakan plot, juga adegan baru dalam ceritanya. Pantang mencontek sesuatu yang sudah ada.
Jika belum mampu menciptakan plot dan adegan-adegan orisinal, sebaiknya tidak memaksakan diri jika hasilnya hanya pengulangan atau mengubah sedikit adegan yang sudah ada pada karya orang lain. Memalukan.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah penciptaan narasi dan kalimat baru. Jangan meniru yang sudah ada. Misal menulis “wajahnya secantik rembulan”. Bukan hanya klise, tapi juga menunjukkan kualitas penulisnya.
Dalam novel PRASA: Operasi Tanpa Nama, aku melukiskan rasa rindu dengan kalimat, “Dua minggu tidak pegang dagumu, dunia seperti tidak punya matahari”.
Biarkan pembaca menggunakan imajinasinya untuk membayangkan dunia tanpa matahari: gelap, pengap, dan mati. Itulah gambaran rasa rindu paling sempurna. Bahwa pembaca tidak bisa memahami sampai ke sana, itu bukan urusan penulis.
Seperti telah disampaikan berulangkali, biarkan pembaca berimajinasi sesuai latar belakang budayanya, keilmuan dan suasana hatinya.
Sebagai penulis, cukuplah berkarya dengan baik, dan jujur.